SEPERTI refleks. Begitu orang tua berbaju putih, bersarung putih, dan berkopiah putih itu muncul, kami bangkit serentak. Dengan langkah tergopoh-gopoh, sambil merunduk-runduk, kami menyerbu sosok yan tertatih-tatih, berjalan masih sambil menyelesaikan kait kancing bajunya. Hampir berebut, kami menggapai tangan yang belum siap menyambut itu. Seraya mcnundukkan kepala, kami menyuruk mencium tangan keriput, yang lembut, yang menggenggam salaman tangan kami hampir tanpa tenaga. Saya lupa apakah yang tercium itu berbau Rheumason, minyak kayu putih, atau Vicks. Mungkin karena sadar akan pengakuan masyarakat, la menenma perlakuan hormat semacam itu dengan sikap apa boleh buat. Suka atau tidak suka, semua diterima, semua disambut. Tanpa jenjang. Tanpa beda-beda. Yang tinggi, yang rendah, sama saja di depan Allah juga sama saja di depan orang tua ini. Setelah duduk, saya membuka pembicaraan dengan amat hati-hati. Saya merasa wajah saya tidak dapat menipu pancaran taklid di hadapan orang tua yang saleh ini. Bahwa kami gembira dapat bersilahturrahmi, dijawabnya: Alhamdulillah. Tatkala kami utarakan titipan salam hormat dari sejumlah kawan yang saya duga beliau ingat, jawabnya pun sepatah kata saja: Alhamdulillah. Ketika kami sodorkan surat bekti cucunya yang dititipkan kepada saya, lembaran kertas itu diamatinya sekilas, tanpa kaca mata. Saya tak tahu apakah surat itu terbaca kata demi kata. Mungkin juga hanya kenal condongnya alif dan lengkungnya wawu tulisan cucunya itu saja sudah membikin orang tua itu suka cita. Surat itu ternyata mampu melumerkan kekakuan pertemuan pertama kali itu. Alhamdulillah, gumam Kiai sekali lagi. Kini wajah itu berseri. Sorot matanya menatap saya dengan pancaran seJuk dan mengayomi Senyumnya, yang dari tadi saya tunggu, mulai tersungging di ujung bibirnya yang rata karena telah absennya deretan gigi atas sebagai penyangga. Senyum itu menguak gigi bawah yang masih utuh, sekukuh kelam warna kulit pipinya, seteguh pancaran wibawanya. Dalam usia di atas delapan puluh, Kiai ini tampil bak sasok pancaran semangat dan mercu panutan bagi santri dan jemaahnya. Saya terpana. Tetapi dengan keteduhan sorot mata itu, bicara saya yang semula terbata-bata menjadi wajar. Kepribadian asli saya kawedar, karena merasa dilindungi. Lalu saya dapat bersikap dan bicara apa adanya. Sewajar biasanya. Sejujur asli saya. Saya merasa Kiai telah membukakan pintu hatinya dan semangat ukhuwahnya pada kehadiran saya malam itu. Ceritanya menjadi encer, ungkapannya menjadi polos. Begitu manusiawi. Logatnya, guraunya, bahkan leluconnya tulus ikhlas. Sambil berkelakar, Kiai pun berfatwa. Bukan soal ubudiyah atau soal khilafiah. Tetapi soal Pancasila. Tanpa menyembunyikan kebanggaannya, Kiai menjelaskan penliriannya. Diceritakan bagaimana Kiai mengomunikasikan pendirian itu kepada Kepala Negara. Bagaimana beliau memfatwakan kepada jemaahnya. Dikutipnya ayat suci, diucapkannya serangkaian lafal, mengukuhkan pendiriannya itu. Tetapi Kiai juga melempar beberapa kelakar, untuk mewarnai kadar komunikatif fatwanya. Peribahasa makan, Kiai bilang, selama tiga puluh sembilan tahun merdeka ini kita 'kan sudah tuwuk (kenyang) mengenyam Pancasila. Kok, baru sekarang tahu-tahu ada yang bilang haram. Lho, 'kan ndak ilok itu. Dengan tertawa ringan Kiai meledek. Akidah bukan soal adu banyak pendukung. Tafsir bukan dan tidak cukup dengan merasionalkan maksud, lalu mengotak-atik ayat. Tugas umat Islam itu menegakkan hukum Allah. Dapak saya kcnal malaikat 'kan enak, selorohnya. Lalu saya dapat minta agar dimohonkan kepada Allah, supaya hukumnya dibikin cocok dengan mau hati saya. Sayang, saya belum pernah keteml malaikat itu. Jadi, harus dikembalikan ke akidah dan iman saya saja. Kalau sampeyan orang Islam di Hong Kong atawa di Mesir, tidak perlu mempersoalkan hubungan Islam dengan Pancasila. Soalnya, umat Islam di Indonesia itu 'kan hidup, bergaul, dan mengamalkan ibadatnya di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Kemaslahatan dan kesejahteraan umat Islam adalah bagian dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Saya rasa, pemerintahan ini diakui umat Islam, sebagai warga negaranya. Karena itu, kewenangannya mengusahakan kebaikan bagi rakyatnya sah pula, sepanjang tujuan dan caranya tidak melawan hukum Allah. Kalau umpama saya disuruh menyemir rambut saya yang sudah putih ini menjadi hitam, oleh pemimpin pemerintahan yang sah, demi tegaknya tiang negara, demi keutuhan dan kemaslahatan masyarakat, hukumnya wajib bagi saya mematuhinya. Biarpun menyemir rambut, atas kemauan sendiri, misalnya dengan alasan supaya diarepi perawan, makruh hukumnya. Saya tidak melihat pancaran taktik atau akal-akalan dalam argumen Kiai. Saya merekam keihlasan. Sabdo pandito. Beliau bicara tauhid dalam menerangkan sila pertama. Beliau bicara akidah dan syariah untuk sila-sila selebihnya. Antusias, berseri-seri. Bahkan seperti sedang menjelaskan makna surat Al Fatihah, pada hari pertama menghadapi santri yang sedang belajar tafsir. Perkara menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, itu urusan kenegaraan, itu soal politik. Bukan tugas Kiai, seolah menjelaskan duduk perkara. Di saat memperjuangkannya atau mempermasalahkannya, perlu menempuh langkah kenegaraan, langkah politik melalui perekayasaan politik. Jangan dikisruhkan. Jangan dijumbuhkan dengan tugas ulama. Itulah Kiai As'ad Syamsul Arifin, dari Pondok Pesantren Salafiyah Sjafi'iyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asem Bagus, Situbondo. Saya bersyukur dapat bertemu dengan jamhur yang wajar, saleh, dan rendah hati ini. Alhamdulillah, gumam saya, sesaat meninggalkan pesantren, menirukan kebiasaan Kiai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini