Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reza Syawawi
Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 adalah pemilu langsung ke-empat untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota parlemen. Pengalaman ini seharusnya menjadi bagian dari proses memperkuat legitimasi hubungan antara pemilih dan pemimpin politik. Akan berbeda halnya ketika pemilihan tersebut dilakukan hanya melalui partai politik atau sistem perwakilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan langsung berimplikasi terhadap beberapa hal. Salah satu yang paling sering dipersoalkan adalah biaya yang tinggi. Akibatnya, pemilihan langsung dituding sebagai faktor yang membuat banyak kepala daerah dan anggota parlemen terlibat korupsi. Biaya politik yang tinggi seakan memaksa mereka untuk mengumpulkan pendanaan politik dari sumber yang dilarang undang-undang. Atas dasar ini, banyak pihak—terutama partai politik—mengusulkan agar pemilihan langsung, khususnya pemilihan kepala daerah, dilakukan secara tidak langsung, yakni melalui dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Padahal risiko biaya tinggi tetap ada jika pemilihan dilakukan melalui sistem perwakilan.
Selain memperkuat prinsip keterwakilan, pemilihan langsung sebetulnya bagian dari upaya untuk menekan biaya politik yang banyak dikeluhkan partai politik. Sebab, calon yang diajukan tentu memiliki tingkat ke-terpilihan yang tinggi dan sudah dikenal publik.
Namun proses pencalonan di lingkup internal partai politiklah yang didesain "mahal". Misalnya, banyak orang yang tidak pernah didengar kiprahnya di masyarakat tiba-tiba dicalonkan atau keputusan partai politik dalam menentukan calon untuk daerah pemilihan tertentu atau memindahkan daerah pemilihan pada pemilu berikutnya. Hal ini tidak hanya berpotensi merusak esensi keterwakilan, tapi juga menjadi faktor dominan yang menciptakan politik biaya tinggi. Calon akan habis-habisan mengeluarkan biaya agar dirinya diketahui dan dipilih pemilih.
Sistem pemilihan langsung harus dilihat sebagai upaya membangun sistem politik yang akuntabel. Relasi politik yang dibangun melalui sistem pemilihan langsung akan lebih mendekatkan pemilih dengan pilihan politiknya. Ketika pilihan itu ditumpangkan kepada institusi politik yang lain, tentu relasinya akan jauh berbeda.
Namun, dalam praktik-nya, regulasi di sektor politik, seperti Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Partai Politik, cenderung tidak menjawab tujuan dari sistem pemilihan langsung. Akuntabilitas politik yang diharapkan akan memperkuat relasi pemilih dan pemimpin politik cenderung tidak diakomodasi.
Mandat langsung yang diberikan oleh pemilih hanya diafirmasi melalui hal-hal yang sifatnya kuantitatif, seperti merumuskan jumlah suara untuk mendapat kursi di parlemen atau keterpilihan dengan memperoleh 50 persen plus satu suara atau melalui suara terbanyak. Padahal seharusnya hal-hal yang kuantitatif itu juga mencerminkan relasi dan legitimasi seorang presiden, kepala daerah, dan anggota parlemen.
Dalam konteks yang lain muncul hal serupa, misalnya soal politik afirmasi keterwakilan perempuan dalam persentase tertentu, baik dalam kepengurusan partai maupun pencalonan anggota parlemen. Pertanyaan reflektifnya adalah apakah keterwakilan itu hanya bisa dinilai dengan ukuran-ukuran kuantitatif?
Umumnya, pemilih dan partai politik cenderung abai terhadap hal-hal semacam ini. Padahal esensi pemilihan langsung adalah menjadikan setiap suara bernilai sehingga keterpilihan yang berdasarkan jumlah suara tertentu juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pemilih.
Apakah ukuran untuk menilai bahwa satu kursi itu sudah cukup mewakili kepentingan ribuan atau ratusan ribu suara? Atau, apakah kuota 30 persen perempuan sudah cukup mewakili aspirasi dan kepentingan perempuan dalam berbagai kebijakan?
Ada undang-undang atau kebijakan yang tiba-tiba muncul tapi kemudian ditolak masyarakat. Jika merujuk pada konteks ke-terwakilan, tentu ada masalah mendasar bahwa setiap pengambil keputusan politik tidak memiliki mekanisme untuk merespons situasi dan aspirasi dari publik yang diwakilinya. Dengan demikian, apa yang tadi kita sebut sebagai hitung-hitungan jumlah suara dan kuota/persentase tertentu hanyalah berguna untuk sekadar mendapat kursi/jabatan.
Maka, untuk merespons situasi menjelang pemilihan umum ini, masyarakat seharusnya sudah harus mulai mempertanyakan dan menagih janji-janji politik presiden/wakil presiden, kepala daerah, dan anggota parlemen yang pernah dipilihnya. Apalagi bila mereka kembali mencalonkan diri. Masyarakat jangan justru terbawa arus politik yang lebih mengedepankan isu tentang siapa yang layak menjadi calon.
Tanpa hal semacam itu, sistem pemilihan langsung justru akan kehilangan legitimasinya. Relasi antara pemimpin politik dan pemilihnya hanyalah prasyarat untuk memperoleh kekuasaan.