Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELAKUAN norak Bupati Ngada, Marianus Sae, memblokade Bandar Udara Turelelo Soa, Bajawa, bukanlah perkara yang bisa diselesaikan dengan gaya "silaturahmi". Kejadian yang mengancam jiwa puluhan penumpang pesawat terbang itu sarat dengan pelanggaran hukum yang harus dituntaskan di meja hijau.
Peristiwa memalukan pada Sabtu dua pekan lalu itu terjadi hanya karena sang Bupati tak mendapat tiket pulang dari Kupang ke Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Berang karena merasa diperlakukan tidak sepatutnya, Marianus mengerahkan puluhan anggota Satuan Polisi Pamong Praja "menguasai" landasan Bandara Turelelo. Satu penerbangan Merpati, dengan 56 penumpang, terpaksa balik ke Kupang.
Sangat mengherankan ketika Kepala Cabang Merpati setempat menyatakan telah meminta maaf kepada Marianus, dan menganggap masalah itu sudah selesai. Lebih ajaib pula pernyataan juru bicara Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur, bahwa tak ada tindak pidana dalam kasus itu, karena masalahnya hanyalah antara Bupati dan Merpati. Menyepelekan ulah Marianus yang bisa membahayakan nyawa manusia itu sungguh melecehkan akal sehat.
Untunglah, di luar "kekompakan" Bupati-Merpati-Kepolisian Daerah, Kementerian Perhubungan menanggapi sangat serius "penguasaan" bandar udara itu, dan langsung mengirim penyidik untuk mengumpulkan bahan. Bila terbukti melanggar Pasal 210 dan 234 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bupati yang tadinya pengusaha itu terancam hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Marianus, yang pencalonannya sebagai bupati didukung oleh Partai Amanat Nasional, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Karya Peduli Bangsa, tentu tak hanya terancam undang-undang penerbangan. Dia juga berpotensi dijerat dengan undang-undang perlindungan konsumen, undang-undang pelayanan publik, di samping undang-undang hukum pidana.
Tak kurang anehnya, setelah sekitar sepekan, barulah Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Kepolisian mengeluarkan pernyataan sedang mengumpulkan fakta dugaan pelanggaran hukum dalam penutupan bandar udara itu. Padahal, faktanya, satu penerbangan Merpati dengan 56 penumpang tidak bisa mendarat di landasan yang dipenuhi anggota Satpol PP. Marianus pun mengaku dengan jemawa bahwa dialah yang memerintahkan mereka.
Pembiaran kejadian ini akan menimbulkan preseden yang sangat berbahaya di masa depan. Kalau setiap bupati boleh menutup bandar udara dengan alasan pribadi semata-mata, sungguh sulit membayangkan arah perjalanan republik ini. Undang-Undang Otonomi Daerah memang memberikan kekuasaan lebih dari sebelumnya kepada para bupati/kepala daerah. Tapi mereka sama sekali tak boleh bertindak sebagai "warlord" yang bisa melakukan apa saja. Staf ahli Menteri Dalam Negeri menyatakan dengan tegas, pengelolaan bandar udara merupakan kewenangan pusat, bukan daerah.
Bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian harus mengusut tandas perkara ini. Tindakan Marianus, yang mempertaruhkan jiwa manusia, tidak bisa ditenggang dengan alasan apa pun. Perusahaan penerbangan Merpati juga harus mengevaluasi kinerjanya, termasuk memeriksa komentar karyawannya yang bisa menyakiti hati publik. Membiarkan pelanggaran ini, atau menyelesaikannya dengan gaya "silaturahmi", sama dengan menyimpan bangkai di dalam lemari makan.
berita terkait di halaman 42
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo