Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEWIBAWAAN Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah runtuh sejak skandal Akil Mochtar terungkap. Karena itu, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang membatalkan keputusan Presiden tentang pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi mestinya menjadi momentum bagi hakim yang tersisa untuk mengundurkan diri.
Putusan PTUN mengabulkan gugatan Koalisi Penyelamat Mahkamah Konstitusi yang mempersoalkan pengangkatan Patrialis sudahlah tepat. Koalisi yang antara lain terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, dan Indonesia Corruption Watch itu menyebutkan pengangkatan bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut melanggar Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yakni dilakukan tidak transparan. Pasal 19 dan pasal 20 undang-undang itu menyatakan pengangkatan hakim konstitusi mesti terbuka dan partisipatif, termasuk dengan cara mengumumkan proses seleksi di media cetak dan elektronik.
Agar marwahnya tak tercoreng, Patrialis dan Presiden tak perlu naik banding. Jika itu dilakukan Patrialis, bekas politikus Partai Amanat Nasional itu terkesan hanya mengejar jabatan. Jika Presiden yang melakukannya, ia mengkhianati Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang diterbitkan setelah kasus Akil Mochtar. Peraturan yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat itu menyebutkan hakim konstitusi mesti melewati uji kelayakan yang dilakukan panel ahli. Artinya, Presiden sudah "mengoreksi" kesalahannya saat mengangkat Patrialis.
Memang, sesudah putusan PTUN itu, jumlah hakim Mahkamah tinggal tujuh orang. Menurut undang-undang, inilah jumlah minimal hakim agar Mahkamah bisa mengambil putusan dalam sidang. Jumlah itu terbilang mepet: jika ada satu saja hakim yang sakit atau berhalangan, putusan tak bisa diambil. Dengan beban kerja yang tak ringan-menguji undang-undang hingga memutus sengketa pemilihan kepala daerah-sulit memastikan tak akan ada hakim yang berhalangan. Karena itu, ketimbang tergopoh-gopoh bekerja dengan jumlah hakim yang terbatas, Mahkamah Konstitusi mesti total dirombak.
Majalah ini pernah mengusulkan agar penangkapan Akil Mochtar dijadikan momentum bagi Mahkamah Konstitusi untuk bersih-bersih. Setelah putusan PTUN, selayaknya hakim konstitusi yang tersisa mengundurkan diri. Para hakim yang sebagian besar akademikus dan hakim karier itu harus berani mengambil langkah tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Mundur bukan hal memalukan, tapi mulia. Selanjutnya Komisi Yudisial bisa menyeleksi kandidat baru.
Apa yang dilakukan Akil Mochtar telah menyurutkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi. Pola rekrutmen lama hanya menghasilkan hakim konstitusi yang tak sungkan menerima suap untuk memenangkan kandidat pemilu kepala daerah, termasuk dengan cara memalsukan formulir rekapitulasi kartu.
Mahkamah Konstitusi harus memulai era baru. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang baru dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sudah cukup untuk dijadikan dasar.
berita terkait di halaman 116
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo