Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ROH Gubernur Jenderal Gustauhnaf William Baron van Imhoff tak perlulah kita panggil untuk dimintai konfirmasi apatah Istana Cipanas yang dia bangun pada abad ke-18 ini pantas dipakai kenduri pribadi seorang presiden. Berdiri di kaki Gunung Gede dengan pemandangan memukau, istana ini dikenal sebagai tempat rehat sejumlah gubernur jenderal di zaman kolonial.
Kamis pekan lalu, atau tiga abad setelah Van Imhoff membangun istana itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanfaatkannya untuk menikahkan putra bungsunya, Edhie Baskoro atau biasa disapa Ibas. Putra kesayangan Yudhoyono itu mempersunting Siti Ruby Aliya Rajasa, putri Menteri Koordinator Perekonomian M. Hatta Rajasa, lalu pernikahan dirayakan dalam sebuah perhelatan mahapenting dan jauh dari ukuran sederhana.
Mahapenting lantaran inilah hajatan mantu terakhir sang Presiden dalam periode terakhirnya. Mantu pertama ketika Yudhoyono menikahkan putra sulungnya, Agus Harimurti, dengan Annisa Larasati Pohan pada Juli 2005 di Istana Bogor, Jawa Barat. Bedanya, kenduri besar buat Ibas ini lebih hebat menyedot perhatian publik, bahkan pejabat negara. Jadwal persidangan di Dewan Perwakilan Rakyat digeser gara-gara acara ini. Gubernur mau rapat? Tunda dulu, yang penting ramai-ramai "setor muka" ke Istana Cipanas.
Gunjingan perdana menyangkut perkara sepele: mengapa memilih istana di kawasan Puncak yang rawan kemacetan? Masyarakat harus mengalah, tak bepergian melewati rute mewah itu pada hari dan jam yang ditentukan. Pengamanan dibikin berlipat dan berlapis. Dua komando daerah militer dan dua kepolisian daerah dikerahkan sekaligus—termasuk kendaraan penjinak bahan peledak dan barakuda—tak ubahnya pengamanan acara kenegaraan. Mobilisasi masif seperti ini susah dibilang tak melibatkan fasilitas negara.
Sadar akan dikritik, Presiden Yudhoyono buru-buru menyatakan kenduri besar ini tak sepeser pun menggunakan uang negara. Padahal pengerahan kekuatan pertahanan dan keamanan dari dua wilayah provinsi itu tentu menghabiskan biaya operasional tak sedikit, dari hotel, bensin, hingga nasi bungkus buat aparat. Semua ongkos ini jelas menggunakan anggaran negara. Belum lagi pengaspalan jalan menuju tempat acara di rumah Yudhoyono di Puri Cikeas serta penggunaan pemadam kebakaran untuk mengurangi terpaan debu.
Perhelatan juga hendak dikesankan bebas dari gratifikasi. Sahibulhajat mencantumkan pesan di kertas undangan agar hadirin tidak membawa hadiah dalam bentuk apa pun. Jangan buru-buru terharu. Hari gini, kata anak gaul masa kini, sumbangan tak lagi diberikan secara konvensional dalam bentuk kado, cek, atau angpau yang dicemplungkan ke kotak resepsi. Tentu ada celah buat tetamu untuk menyumbang dengan cara yang lebih canggih, bukan di saat acara berlangsung. Cara ini sengaja dilakukan agar terbebas dari risiko ketahuan aparat antikorupsi.
Isyarat bagi tamu tajir agar "membantu" terbaca dari susunan panitia perkawinan. Para anggota panitia itu bisa berperan sebagai pendulang rezeki. Ketuanya dijabat mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Purnawirawan Erwin Sudjono, kakak ipar Yudhoyono. Kerabat lainnya, Direktur Utama Bank BNI Gatot Suwondo, menjadi wakil ketua. Yang lebih gawat, lima menteri strategis menduduki posisi pengarah panitia: Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Menteri Jero Wacik, dan Menteri Zulkifli Hasan.
Anehnya, pihak Istana membantah kabar bahwa pesta yang puncaknya berupa resepsi di Jakarta Convention Center pada Sabtu malam pekan lalu ini menghabiskan fulus berpuluh miliar rupiah. Semua orang paham bahwa pesta pernikahan yang kerap dispekulasikan berbau politis ini, sehingga dijuluki "koalisi cinta", tampaknya dirancang serba mahal. Seremoni harus komplet dan eksklusif, menggunakan "adat asli" Palembang dan Jawa Mataraman. Puluhan pengeras suara yang dipasang di Cipanas harus berbalut kayu khusus yang dipesan dari Siberia—ditebang dalam suhu tertentu agar menghasilkan suara bening!
Apa boleh buat, acara sudah terlaksana. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden Yudhoyono memang memiliki privilese untuk menggunakan istana sebagai kediaman resmi ataupun kegiatan lain, termasuk menggelar resepsi pernikahan anaknya. Namun akan lebih elok jika Presiden menahan diri agar tak terkesan aji mumpung. Kecuali dia memang ingin dicitrakan sebagai presiden pertama yang mengungguli para presiden terdahulu: mantu di dua istana, dihadiri ribuan tamu penting yang mengendarai mobil mewah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo