Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kilat Lampu Berulang Kali Untuk Sutradara Joko Anwar

Joko Anwar adalah seorang sutradara dengan talenta serba bisa.

6 Januari 2020 | 06.15 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Joko Anwar adalah seorang sutradara dengan talenta serba bisa. Berpindah-pindah dari genre ke genre, sineas serta mantan “anak nakal” ini kini makin berkembang dalam penataan baik bahasa, ritme, maupun musikalitas film.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2019 saja, sutradara kelahiran Medan ini telah menulis dan menyutradarai dua film box office – “Gundala” (“Petir” dalam bahasa Jawa kuna) dan “Perempuan Tanah Jahanam” (dirilis di luar negeri dengan judul “Impetigore”). Keduanya berhasil menyentuh angka penjualan 1,5 juta tiket. Ia juga penulis skenario untuk dua hits lainnya, film komedi “Orang Kaya Baru” dan film horor “Ratu Ilmu Hitam.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gundala, sebuah film aksi yang didasarkan pada sebuah seri komik populer indonesia, merupakan film pertama dari delapan film yang direncanakan oleh Bumilangit Universe.

Meski keduanya tidak ada yang mendekati pencapaian suksesnya di 2017, “Pengabdi Setan” dengan tiket terjual sebanyak 4,2 juta lembar, film-film terbarunya menggarisbawahi kreativitasnya yang luar biasa ketika ia berganti dari gaya distopia urban dan amoral ala Jakarta kontemporer dan mistisisme serta simbolisme tanah Jawa.

Team Ceritalah mewawancarai Joko Anwar di Jakarta

Joko berperawakan tinggi besar. Karisma serta rasa humornya menutupi cara pikir kreatif dan kerja kerasnya. Ia bercerita kepada tim Ceritalah ketika bertemu baru-baru ini, “Saya menganggap diri saya seorang penggila film sejati, dan saya ingin membuat film yang dapat saya nikmati dengan cara saya sendiri. Karena itu saya membuat berbagai macam jenis film.”

Namun, tampaknya itu adalah caranya merendah. “Gundala” adalah sebuah film aksi yang diambil dari serial komik Indonesia, bagian pertama dari delapan film yang direncanakan untuk Bumilangit Universe. Rangkaian film ini akan terus dirilis hingga 2025, dengan gaya Marvel Cinematic Universe (MCU), sebuah hal baru pertama kali yang muncul di Asia Tenggara.

Karim Raslan dengan seorang anggota Team Ceritalah, setelah menonton Gundala di Kuala Lumpur.

“Gundala” adalah film yang gelap dan murung, didukung oleh penampilan dari aktor utamanya, Abimana Aryasatya yang berapi-api namun canggung serta peran penjahat yang amat menyeramkan dari aktor Malaysia, Bront Palarae.

Atmosfir yang sangat menekan dimulai dari awal. Film ini diawali dari sebuah pabrik terisolir yang dipenuhi konflik, di mana para buruh harus melawan sang pemilik pabrik yang brutal namun tidak terlihat.

Lalu cerita berpindah ke Jakarta. Joko meninggalkan keglamoran Menteng dan Kebayoran. Ia justru menciptakan sebuah dunia dengan rumah petak yang kusam, pasar jalanan, dan perkampungan, di mana premanisme dan kejahatan merajai berbagai kelas mulai dari pinggiran hingga orang-orang yang berkuasa.

Poster Film Ratu Ilmu Hitam, yang mana terdapat karakter perempuan dari desa terkutuk mencoba untuk membalaskan dendam kepada para penyiksa ibunya dan pelaku pelecehan sexual terhadap temannya.

Joko menyelami keputusasaan kaum pinggiran, sama seperti sutradara Filipina yang memperoleh banyak penghargaan, Brillante Mendoza, ketika para kaum elit melalui kontrol media massa, mendistorsi kesadaran publik terhadap isu-isu dan kejadian-kejadian. Meski premis ceritanya bukanlah sesuatu yang baru, namun eksekusinya berupa gambaran ketidaknyamanan dan ketakutan, sangatlah nyata.

Sulit mengabaikan paralel yang muncul antara karya Joko dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Namun, sang sutradara dengan tenang menolak anggapan bahwa ia mencoba menyampaikan suatu hal yang politis di dalam filmnya.

“Ya, memang saya punya pesan yang ingin saya sampaikan dalam film-film saya. Tapi saya tetap mencoba netral," tuturnya.

Meski demikian, ia tidak menyanggah bahwa karya-karyanya memang politis. Wajar saja, ia memulai karirnya sebagai seorang jurnalis dan kritikus film untuk The Jakarta Post yang dikenal berapi-api. Ia adalah seseorang yang memiliki pandangan kuat.

“Saya membuat film berdasarkan reaksi saya terhadap apapun yang terjadi di masyarakat pada saat itu. Saya memang politis, hal itu tidak bisa saya sanggah," Joko menyampaikan alasannya.

“Tapi begini, menjadi seorang warganegara yang fungsional berarti Anda harus bisa secara aktif menyuarakan bagaimana negara Anda dijalankan. Ketika seseorang berlaku salah, maka harus Anda kritik. Anda tidak bisa dengan membabi buta begitu saja mendukung seorang politikus," paparnya.

Joko tentu menyatakan bahwa film-film utamanya adalah hiburan. Namun, ia juga melihat ada tanggung jawab untuk berkontribusi kepada kesadaran kolektif orang-orang Indonesia mengenai isu-isu penting seperti korupsi dan patriarki yang sudah mengakar.

Maka dari itu, film-film Joko Anwar banyak berkisah mengenai peran perempuan sebagai seorang ibu dan istri.

Dalam “Pengabdi Setan,” seorang perempuan ada di dalam tekanan untuk segera memiliki keturunan, hingga berakhir pada kelompok penyembah setan.

Dalam “Ratu Ilmu Hitam,” karakter perempuan lainnya menggunakan kutukan untuk membalaskan dendam ibunya kepada teman-temannya yang kerap menyiksa dan melecehkan secara seksual.

Begitu pula di “Perempuan Tanah Jahanam,” sumber dari kutukan yang membangun plot cerita adalah seorang perempuan yang diperkosa oleh kakek sang tokoh utama.

Mungkin latar belakangnya dimana dia dibesarkan oleh ibunya dalam keluarga miskin – dapat menjelaskan simpati Joko terhadap buruknya keadaan terhadap perempuan.

Karakter-karakter perempuan dari film-film Joko membentuk narasi. Dalam hal aktris perempuan andalannya, Tara Basro yang langsing namun atletis – ia mampu menyita perhatian kamera selama bermenit-menit. Adegan pembuka yang menyeramkan dalam “Perempuan Tanah Jahanam” di mana Tara yang meledak-ledak, dihadapkan dengan penjahat bersenjatakan parang, akan mengubah pandangan Anda tentang penjaga pintu tol.

Poster untuk film Pengabdi Setan atau “Satan’s Slaves”. Film 2017 dari Joko Anwar yang menembus angka 4,2 juta penonton.

Para laki-laki di film Joko – terutama figur ayah – biasanya bersifat tiada atau tidak berguna. Bahkan dalam film “Gundala” – film superhero penuh testosteron – adalah (waspada spoiler!) seorang superhero perempuan yang menyelamatkan protagonis laki-laki.

Karya Joko mengingatkan kita akan karya-karya sutradara Afrika-Amerika, Jordan Peele (“Get Out” dan “Us”) di mana karyanya dipenuhi dengan rasa ngeri dan kekerasan yang sedikit disembunyikan. Kedua sutradara ini menggulingkan norma sosial dan ekspektasi ketika membuat film arus utama yang melintas (bahkan menembus) genre.

Ketika ditanya bagaimana caranya ia memiliki waktu untuk membuat empat film dalam satu tahun, ia tertawa. “Saya mencintai pekerjaan saya. Jujur, saya tidak pernah tidur, saya kerja di mana-mana.”

Dua karakter protagonist perempuan dari film Perempuan Tanah Jahanam, yang diperankan oleh Tara Basro dan Marissa Anita.

Untuk para pecinta film di Indonesia, Joko Anwar adalah sebuah nama beken. Saya yakin, hanya butuh waktu sebentar lagi sebelum orang ini menembus kesuksesan tingkat Asia – bahkan global. Begitulah semangatnya, kemampuan membuat film yang makin bertumbuh, serta `determinasi yang kokoh.***

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus