Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

King, bukan gladiator

Liem swie king bukan gladiator yang tak boleh punya kemauan sendiri. maka keputusannya untuk main film harus kita ikhlaskan. sebagai manusia biasa, mungkin ia sudah jenuh menjadi jagoan bulu tangkis.

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU King diberitakan kalah w.o. dalam SEA Gamesbaru-baru ini alangkah banyak orang kecewa dan mengumpatnya. Mereka menganggap kedatangannya yang terlambat di tempat pertandingan itu sebagai penampilan yang memalukan dari seorang olahragawan kaliber dunia. Dan waktu akhirnya pengurus PBSI menjatuhkan skors 3 bulan tidakboleh-main kepada King, kebanyakan dari kita menganggapnya itu sebagai keputusan yang wajar dan semestinya. Baiklah. King telah bersalah. Tapi sudah berlaku adilkah kita terhadapnya? Kalau King telah jadi "slebor", seenak perutnya bangun kesiangan pada satu hari pertandingan besar, apakah itu bukan merupakan suatu keganjilan? King yang selalu disiplin, patuh dan jatmika datang terlambat pada satu pertandingan besar karena bangun kesiangan? Alangkah absurd! *** Kalau anda (yang tidak biasa bangun pagi) pada satu waktu harus bepergian ke Singapura dengan pesawat yang paling pagi, bukankah "secara mental" anda menyiapkan diri malam sebelumnya agar esok paginya tidak terlambat bangun? Anda mungkin akan memasang wekker, atau mungkin cukup memberi tahu "wekker" yang ada dalam tubuh anda untuk membangunkan anda pada waktunya yang tepat. Dan anda (yang tidak biasa bangun pagi) akan bangun betul-betul tepat pada waktunya. Kenapa? Karena anda ada motivasi besar untuk pergi ke Singapura. Anda mempunyai gairah dan kehendak yang kuat yan mendorong keputusan untuk pergi ke Singapura itu. Mungkin gairah dan kehendak itu dirangsang oleh berbagai hal yang anda anggap penting untuk berada di Singapura itu. Menghadiri seminar yang penting bagi perkembangan profesi, mengejar penutupan kontrak yang akan menentukan hidupmatinya perusahaan, atau mungkin kencan-kencan pribadi yang mengasyikkan. Apapun itu, motivasi atau dorongan kehendak itulah yang menentukan kesigapan kepergian itu. Motivasi yang lemah dan rendah, sebaliknya, tidak akan mendorong kesigapan itu. Bagaimanapun wekker itu distel, anda akan merasa tidak berkewajiban untuk bergerak sigap menjawab dering wekker itu. Bahkan anda akan merasa perlu untuk mencari pengesahan untuk mengundur keberangkatan anda. Liem Swie King adalah ieorang olahragawan kawakam Masih muda usia tetapi keterlibatannya dengan olah-raga sudah dimulainya sejak dini. Prestasinya cemerlang dan mengagumkan. Di samping bakat dan ketekunan, saya kira King memiliki motivasi yang kuat untuk bermain dan menang. Tapi olahragawan dengan perangkat sifat-sifat seperti ini, serta deretan prestasi yang secemerlang itu, pada suatu pagi terlambat bangun untuk bertanding. King kehilangan motivasi untuk bertanding pagi itu! Kenapa? Mungkin hanya King yang akan tahu menjawabnya. Tetapi bila kita masih ingat bahwa seusai Thomas Cup tempo hari King telah menyatakan keinginannya untuk beristirahat karena capek, mungkin "kehilangan motivasi" itu telah mulai sejak itu. Mungkin rasa capek itu gabungan antara rasa capek secara jasmani dengan rasa capek secara mental. Seorang olahragawan yang terus-menerus menanjak prestasinya dan digenjot pada pertandingan demi pertandingan wajar bila pada satu waktu akan merasa lelah sekali tubuhnya. Dan seorang olahragawan yang kemudian menjadi populer dan menjadi jantung-hati penonton di mana-mana, dikejar-kejar wartawan dan penggemar-penggemarnya, wajar juga bila pada satu waktu tertentu tiba-tiba merasa lelah dan capek sekali. Gabungan rasa capek begini biasanya akan bisa menjurus pada rasa jemu, bosan dan jenuh. Tiba-tiba terasa semua itu menjadi "datar", rutin tanpa gejolak yang mengasyikkan lagi. Mungkin keputusan King kemudian untuk mencoba main film berhubungan erat sekali dengan keinginan untuk menerobos rasa jenuh itu. Tetapi apa lacur dengan keputusan itu? Reaksi berdatangan dari berbagai pihak yang pada pokoknya berkeberatan King mencoba itu. Setidaknya kurang ikhlas melihat King ingin jadi bintang film. *** Tetapi mengapa kita kurang ikhlas melepas King menjadi bintang film? Baiklah kita jujur terhadap diri kita sendiri. Bukankah dari "segerobak" pernyataan yang kita lontarkan lewat mediamassa tentang King-maujadi-bintang-film itu sesungguhnya bisa kita simpulkan dalam satu kalimat saja? Yakni: takut kehilangan King sebagai superstar bulu-tangkis kita! Takut kalau pamor bulu-tangkis kita akan jadi redup karenanya. Sebab tim kita di All Englad, Thomas Cup dan berbagai invitasi lainnya tanpa seorang superstar yang cemerlang diragukan akan dapat memberikan penampilan yang hebat. Hingga tidak lagi media-massa kita bisa menepuk dada memberitakan King telah "membabat habis semua lawan di dunia"? Wah! Kalau belum, apakah kita melihat King (dan superstar olah-raga lainnya) sebagai seorang gladiator? Yakni seorang yang kita jago, kita pelihara, kita manjakan untuk sewaktu-waktu kita terjunkan ke colloseum untuk bertanding, berkelahi hidup-atau-mati melawan jagoan yang lain? Di jaman Romawi kuno dulu, para caesar, senator, dan bangsawan menghibur diri sementara rakyat mereka meminta para lanista, pemilik para jagoan itu, untuk mengadu gladiator-gladiator mereka! Pada waktu itulah para priyayi agung Romawi itu sembari minum anggur yang mahal, makan makanan yang paling lezat, sesekali mencubit tubuh gundik-gundik mereka yang montok, manggut-manggut kepalanya, melihat para gladiator bersimbah darah--dan di pinggiran colloseum rakyat berteriak-teriak menuntut penjagalan yang tuntas. (Buat mereka yang ingin membaca buku yang mengasyikkan tentang gladiator jaman Romawi ini, bacalah novel cemerlang Spartacus karangan Howard Fast penulis marxis dari Amerika Serikat itu.) Wah, tidak! Kita 'kan bukan bangsa yang sudah dekaden dan pervers! Cladiator adalah jagoan yang dianggap hewan dan tidak boleh punya kemauan sendiri. Sedang olahragawan kita adalah manusia bebas, ber-Pancasila lagi . . . ! Senayan bukanlah colloseum Romawi kuno melainkan arena olahraga yang gembira dan sehat. King adalah olahragawan yang bebas dan mandiri. Semestinya! Bila dia pada satu waktu merasa jenuh dan ingin menjadi bintang-film itu adalah hak asasi dia. Bukankah sebaiknya kita mengikhlaskan hal itu dan tidak memberinya beban mental yang berat kepadanya? Hingga ia jadi terombang-ambing antara merasa harus tetap melaksanakan kewajiban untuk bertarung dan ingin menerobos kejenuhan? Biarkan King pergi dengan hati ringan dan gembira. Seperti Cruyf dan Neeskens dibiarkan pergi oleh rakyat Belanda. Biarlah King pergi menemukan motivasinya yang baru, menemukan dirinya sendiri dalam perjalanannya yang masih panjang, yang mungkin sekali bukan selalu "bulu tangkis" bunyinya. Dan kita? Kita bukan caesar, lanista atau rakyat Romawi kuno. Kita ya kita, yang melepas King dengan gembira mengucapkan terima kasih kepadanya dan mengenangnya sebagai olahragawan kita yang cemerlang . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus