WAKTU King diberitakan kalah w.o. dalam SEA Gamesbaru-baru ini
alangkah banyak orang kecewa dan mengumpatnya. Mereka menganggap
kedatangannya yang terlambat di tempat pertandingan itu sebagai
penampilan yang memalukan dari seorang olahragawan kaliber
dunia. Dan waktu akhirnya pengurus PBSI menjatuhkan skors 3
bulan tidakboleh-main kepada King, kebanyakan dari kita
menganggapnya itu sebagai keputusan yang wajar dan semestinya.
Baiklah. King telah bersalah. Tapi sudah berlaku adilkah kita
terhadapnya? Kalau King telah jadi "slebor", seenak perutnya
bangun kesiangan pada satu hari pertandingan besar, apakah itu
bukan merupakan suatu keganjilan? King yang selalu disiplin,
patuh dan jatmika datang terlambat pada satu pertandingan besar
karena bangun kesiangan? Alangkah absurd!
***
Kalau anda (yang tidak biasa bangun pagi) pada satu waktu harus
bepergian ke Singapura dengan pesawat yang paling pagi, bukankah
"secara mental" anda menyiapkan diri malam sebelumnya agar esok
paginya tidak terlambat bangun? Anda mungkin akan memasang
wekker, atau mungkin cukup memberi tahu "wekker" yang ada dalam
tubuh anda untuk membangunkan anda pada waktunya yang tepat. Dan
anda (yang tidak biasa bangun pagi) akan bangun betul-betul
tepat pada waktunya.
Kenapa? Karena anda ada motivasi besar untuk pergi ke Singapura.
Anda mempunyai gairah dan kehendak yang kuat yan mendorong
keputusan untuk pergi ke Singapura itu.
Mungkin gairah dan kehendak itu dirangsang oleh berbagai hal
yang anda anggap penting untuk berada di Singapura itu.
Menghadiri seminar yang penting bagi perkembangan profesi,
mengejar penutupan kontrak yang akan menentukan hidupmatinya
perusahaan, atau mungkin kencan-kencan pribadi yang
mengasyikkan.
Apapun itu, motivasi atau dorongan kehendak itulah yang
menentukan kesigapan kepergian itu. Motivasi yang lemah dan
rendah, sebaliknya, tidak akan mendorong kesigapan itu.
Bagaimanapun wekker itu distel, anda akan merasa tidak
berkewajiban untuk bergerak sigap menjawab dering wekker itu.
Bahkan anda akan merasa perlu untuk mencari pengesahan untuk
mengundur keberangkatan anda.
Liem Swie King adalah ieorang olahragawan kawakam Masih muda
usia tetapi keterlibatannya dengan olah-raga sudah dimulainya
sejak dini. Prestasinya cemerlang dan mengagumkan. Di samping
bakat dan ketekunan, saya kira King memiliki motivasi yang kuat
untuk bermain dan menang.
Tapi olahragawan dengan perangkat sifat-sifat seperti ini, serta
deretan prestasi yang secemerlang itu, pada suatu pagi terlambat
bangun untuk bertanding. King kehilangan motivasi untuk
bertanding pagi itu!
Kenapa? Mungkin hanya King yang akan tahu menjawabnya. Tetapi
bila kita masih ingat bahwa seusai Thomas Cup tempo hari King
telah menyatakan keinginannya untuk beristirahat karena capek,
mungkin "kehilangan motivasi" itu telah mulai sejak itu.
Mungkin rasa capek itu gabungan antara rasa capek secara jasmani
dengan rasa capek secara mental. Seorang olahragawan yang
terus-menerus menanjak prestasinya dan digenjot pada
pertandingan demi pertandingan wajar bila pada satu waktu akan
merasa lelah sekali tubuhnya. Dan seorang olahragawan yang
kemudian menjadi populer dan menjadi jantung-hati penonton di
mana-mana, dikejar-kejar wartawan dan penggemar-penggemarnya,
wajar juga bila pada satu waktu tertentu tiba-tiba merasa lelah
dan capek sekali.
Gabungan rasa capek begini biasanya akan bisa menjurus pada rasa
jemu, bosan dan jenuh. Tiba-tiba terasa semua itu menjadi
"datar", rutin tanpa gejolak yang mengasyikkan lagi. Mungkin
keputusan King kemudian untuk mencoba main film berhubungan erat
sekali dengan keinginan untuk menerobos rasa jenuh itu.
Tetapi apa lacur dengan keputusan itu? Reaksi berdatangan dari
berbagai pihak yang pada pokoknya berkeberatan King mencoba itu.
Setidaknya kurang ikhlas melihat King ingin jadi bintang film.
***
Tetapi mengapa kita kurang ikhlas melepas King menjadi bintang
film?
Baiklah kita jujur terhadap diri kita sendiri. Bukankah dari
"segerobak" pernyataan yang kita lontarkan lewat mediamassa
tentang King-maujadi-bintang-film itu sesungguhnya bisa kita
simpulkan dalam satu kalimat saja? Yakni: takut kehilangan King
sebagai superstar bulu-tangkis kita! Takut kalau pamor
bulu-tangkis kita akan jadi redup karenanya. Sebab tim kita di
All Englad, Thomas Cup dan berbagai invitasi lainnya tanpa
seorang superstar yang cemerlang diragukan akan dapat memberikan
penampilan yang hebat. Hingga tidak lagi media-massa kita bisa
menepuk dada memberitakan King telah "membabat habis semua lawan
di dunia"?
Wah! Kalau belum, apakah kita melihat King (dan superstar
olah-raga lainnya) sebagai seorang gladiator? Yakni seorang yang
kita jago, kita pelihara, kita manjakan untuk sewaktu-waktu kita
terjunkan ke colloseum untuk bertanding, berkelahi
hidup-atau-mati melawan jagoan yang lain?
Di jaman Romawi kuno dulu, para caesar, senator, dan bangsawan
menghibur diri sementara rakyat mereka meminta para lanista,
pemilik para jagoan itu, untuk mengadu gladiator-gladiator
mereka! Pada waktu itulah para priyayi agung Romawi itu sembari
minum anggur yang mahal, makan makanan yang paling lezat,
sesekali mencubit tubuh gundik-gundik mereka yang montok,
manggut-manggut kepalanya, melihat para gladiator bersimbah
darah--dan di pinggiran colloseum rakyat berteriak-teriak
menuntut penjagalan yang tuntas. (Buat mereka yang ingin membaca
buku yang mengasyikkan tentang gladiator jaman Romawi ini,
bacalah novel cemerlang Spartacus karangan Howard Fast penulis
marxis dari Amerika Serikat itu.)
Wah, tidak! Kita 'kan bukan bangsa yang sudah dekaden dan
pervers! Cladiator adalah jagoan yang dianggap hewan dan tidak
boleh punya kemauan sendiri. Sedang olahragawan kita adalah
manusia bebas, ber-Pancasila lagi . . . ! Senayan bukanlah
colloseum Romawi kuno melainkan arena olahraga yang gembira dan
sehat. King adalah olahragawan yang bebas dan mandiri.
Semestinya! Bila dia pada satu waktu merasa jenuh dan ingin
menjadi bintang-film itu adalah hak asasi dia.
Bukankah sebaiknya kita mengikhlaskan hal itu dan tidak
memberinya beban mental yang berat kepadanya? Hingga ia jadi
terombang-ambing antara merasa harus tetap melaksanakan
kewajiban untuk bertarung dan ingin menerobos kejenuhan?
Biarkan King pergi dengan hati ringan dan gembira. Seperti Cruyf
dan Neeskens dibiarkan pergi oleh rakyat Belanda.
Biarlah King pergi menemukan motivasinya yang baru, menemukan
dirinya sendiri dalam perjalanannya yang masih panjang, yang
mungkin sekali bukan selalu "bulu tangkis" bunyinya.
Dan kita? Kita bukan caesar, lanista atau rakyat Romawi kuno.
Kita ya kita, yang melepas King dengan gembira mengucapkan
terima kasih kepadanya dan mengenangnya sebagai olahragawan kita
yang cemerlang . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini