Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Setelah Artis Ramai-ramai Berhijrah

Apa yang bisa kita katakan tentang fenomena maraknya artis yang “berhijrah” hari-hari ini: munculnya kesadaran beragama di kalangan pekerja hiburan atau sekadar bagian dari marketisasi agama—religi yang berubah dari sesuatu yang spiritual menjadi komoditas yang menggiurkan?

23 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Setelah Artis Ramai-ramai Berhijrah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Barangkali keduanya.

Istilah hijrah memang menyimpan persoalan. Dalam bahasa Arab, hijrah berarti perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain. Kata ini populer dalam khazanah Islam karena Nabi Muhammad dulu berpindah dari kota kelahirannya di Mekah ke Madinah untuk alasan strategi perjuangan. Pengertian itu hingga kini tak berubah di dunia Arab. Hanya, di Indonesia, makna hijrah berkembang menjadi perubahan sikap keagamaan, dari yang kasual menjadi ketat dalam mengamalkan hukum religi. Seseorang yang “berhijrah” biasanya berubah dalam penampilan: berjenggot dan bercelana di atas mata kaki untuk pria dan berjilbab panjang bahkan bercadar untuk perempuan.

Secara umum, ramainya artis “berhijrah” tidak bisa dipisahkan dari gejala meningkatnya konservatisme agama—fenomena yang menguat dalam satu dekade terakhir. Artis menjadi perhatian karena figur publik. Mereka berpindah dari dunia hiburan yang gemerlap dan ingar-bingar ke dunia religi yang spiritual—transisi yang cukup ekstrem.

Artis “berhijrah” dan sikap beragama yang konservatif dengan demikian menjadi entitas yang tidak bisa dipisahkan. Konservatisme melahirkan kebutuhan baru: pendakwah berlatar belakang pekerja seni, model yang menggunakan busana muslimah paling trendi, produk halal yang membutuhkan promosi dari kalangan orang ternama. Sampai di sini, terasa ada yang ambivalen: dunia yang ditinggalkan dalam proses “hijrah” adalah dunia yang digeluti dan mendatangkan keuntungan ekonomi.

Konservatisme agama sebagai muasal “hijrah” dapat dibaca dari dua sudut pandang. Maraknya pengajian di perkantoran, penggunaan busana muslim, serta bertambahnya anggota jemaah haji dan umrah dipercaya sebagai bukti meningkatnya ibadah masyarakat—kesalehan dalam wujud yang paling lahiriah. Ibadah, ritual menyembah Sang Pencipta, diyakini merupakan sumber kebajikan: menumbuhkan kesabaran, kepekaan sosial, dan keinginan berbuat baik kepada sesama.

Pada sudut yang lain, konservatisme telah menjadi sumber kecemasan: ia dipercaya merupakan pintu menuju intoleransi. Dalam beberapa kasus, penganut agama yang kaku dapat pula terjerembap pada pengingkaran ilmu pengetahuan, misalnya para penganut bumi datar. Konservatisme sebagai keinginan mempertahankan doktrin yang “murni”—yang berasal dan dipraktikkan pembawa ajaran beratus tahun silam—kadang juga dimanifestasikan sebagai keinginan menerapkan ajaran agama dalam hukum negara. Di Indonesia, sikap terakhir ini terlihat dari maraknya kehendak menerapkan hukum syariah.

Dengan demikian, siapa pun, termasuk artis, yang beragama dengan konservatif dapat menjadi berkah sekaligus sumber kecemasan. Ia dapat menjadi panutan kesalehan, tapi ia dapat pula menjadi penyebar paham yang beku.

Hukum harus bertindak jika konservatisme dipraktikkan secara buruk dan bertentangan dengan aturan negara. Mereka yang mempromosikan kekerasan dan menebarkan kebencian mesti diberi sanksi. Kesalehan yang kebablasan, termasuk misalnya menolak membayar pajak karena menganggapnya bertentangan dengan hukum agama, harus ditertibkan. Penganjur negara syariah mesti diwaspadai.

Para pegiat toleransi dan pemuka agama selayaknya memperbanyak diskusi untuk mempromosikan agama sebagai institusi multidimensi. Di sekolah-sekolah, agama sebagai sumber kebajikan harus diajarkan bersamaan dengan sumber kebajikan lain: budi pekerti, seni, filsafat, dan kearifan lokal.

Hijrah pada akhirnya adalah perjalanan spiritual yang personal—sesuatu yang semestinya tidak mengenal kata final. “Hijrah” adalah proses: perjalanan yang tak mengenal penghentian akhir. Sejarah Islam telah memberikan contoh. Misalnya pencarian terus-menerus yang dilakukan Ibrahim. Nabi yang dipercaya sebagai bapak monoteisme itu melakukan pencarian bahkan dalam wujud yang paling ekstrem: mencari Tuhan pada matahari dan bintang-bintang.

“Hijrah” dengan demikian selayaknya tidak dipahami sebagai proses lahir kembali (reborn)—pandangan yang cenderung menghapus masa lalu, bahkan memusuhinya. “Hijrah” hendaknya juga bukan sekadar eskapisme—lari dari kehidupan masa silam yang dianggap hina dan membayarnya dengan kesalehan instan. Dengan pemahaman ini, kedangkalan beragama bisa dihindari dan agama diterima bukan sekadar sebagai pengatur masalah halal dan haram.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus