Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA hukum ditegakkan dengan ”kacamata kuda”, inilah akibatnya: Prita Mulyasari, ibu yang masih menyusui anak keduanya, digelandang masuk penjara gara-gara menulis surel (surat elektronik, e-mail) yang mengeluhkan buruknya pelayanan Rumah Sakit Omni International. Polisi mengenakan pasal penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman penjara maksimal 16 bulan. Jaksa punya ”kreasi” lain: memakai Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang ancamannya maksimal enam tahun penjara.
Yang mengerikan di sini bukan hanya alpanya kepekaan dan nafsu menghukum yang berlebih-lebihan, melainkan juga miskinnya keluasan berpikir. Jika mencoba memahami lebih dari sekadar bunyi teks undang-undang, Kejaksaan Negeri Tangerang agaknya tak akan menahan ibu dua anak yang baru sembuh dari sakit itu. Memang, menurut KUHP warisan kolonial itu, hukuman penjara bisa langsung dikenakan apabila ancaman tindak pidana yang dilakukan di atas lima tahun, ada surat penahanan jelas, dan terdakwa berpotensi menghilangkan barang bukti atau melarikan diri. Prita mestinya tak boleh diancam dengan hukuman apa pun. Bukan saja karena ia tak mungkin melarikan diri pada saat harus mengasuh dua balitanya, melainkan juga lantaran menyampaikan keluhan bukanlah pelanggaran.
Atas perlakuan buruk yang ia terima, Prita memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya, hak yang dijamin konstitusi. Kejaksaan agaknya tidak mempertimbangkan hak berpendapat itu. Publik membaca seakan-akan ada keinginan jaksa untuk memenjarakan Prita, dengan meminta polisi menambahkan ancaman hukuman dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, selain pasal pencemaran nama baik yang semula diajukan polisi. Dengan undang-undang yang ancaman hukumannya di atas lima tahun, kejaksaan seakan memiliki pembenaran untuk menahan Prita.
Majalah ini setahun lalu sudah mengemukakan bahwa Pasal 27 adalah cacat terbesar Undang-Undang Informasi. Pasal itu tak ubahnya pasal karet karena definisi ”mencemarkan nama baik” bisa ditarik-ulur sesuai dengan kepentingan pihak yang kuat. Tak masuk akal bila Prita tiba-tiba ”sejajar” dengan para koruptor yang ditahan karena menilap uang negara miliaran rupiah. Tidak perlu kecerdasan terlalu tinggi untuk memastikan bahwa menyampaikan keluhan atas pelayanan rumah sakit tidak sama ”derajat”-nya dengan menilap uang negara.
Mungkin karena banyak yang merasa akal sehatnya terusik, Prita menerima ribuan simpati. Dia juga ”beruntung” sebab pada musim kampanye ini perhatian kepada rakyat dipompa habis. Para kandidat presiden bicara tentang dia, Megawati menengoknya di tahanan. Statusnya berubah cepat menjadi tahanan kota, status yang juga tak pantas untuk disandangnya. Jaksa Agung pun sudah memerintahkan para jaksa Tangerang diperiksa.
Pada zaman Internet ini, berkirim kabar di dunia maya merupakan hal yang sangat biasa. Di dunia online itu orang menyampaikan keluhan, juga menyebarkan pujian. Jika Rumah Sakit Omni terganggu dengan keluhan Prita, ia bisa menyiarkan surat elektronik juga untuk membantah. Satu surel Prita rasanya terlalu ”sakti” untuk membuat orang tak berani datang berobat di Omni. Malah, cara Omni merespons keluhan pasiennya itu yang agaknya menebarkan kekhawatiran. Bagaimanapun, pasien merupakan konsumen yang menghendaki pelayanan terbaik karena telah membayar.
Sumber semua masalah ini, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, terutama pasal-pasal yang menyangkut kebebasan berpendapat, perlu segera diamendemen. Seorang korban sudah lebih dari cukup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo