Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik adalah sebuah tugas sedih: usaha menegakkan keadilan di dunia yang berdosa. Reinhold Niebuhr, teolog itu, mengatakan demikian untuk siapa saja. Tapi saya kira ini terutama berlaku bagi tiap intelektual publik—artinya seseorang yang dengan tulisan dan ucapannya berbicara ke orang ramai, mengetengahkan apa yang sebaiknya dan yang tak sebaiknya terjadi bagi kehidupan bersama.
Kata yang penting adalah ”tugas”. Dengan catatan: politik sebagai tugas bukan karena komando sebuah partai atau kekuasaan apa pun. Tugas itu muncul karena ada sebuah luka. Luka itu terjadi ketika di suatu hari, dalam kehidupan sosial kita, ada liyan yang dianiaya, ada sesama yang berbeda dan sebab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidakadilan.
Saya menyebutnya ”luka” karena persoalan ketidakadilan bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi konkret, menyangkut tubuh, melibatkan perasaan, membangkitkan trenyuh dan juga amarah: Munir yang dibunuh tapi kasusnya tak terungkap tuntas, ribuan orang yang dilenyapkan di masa ”Orde Baru” dan tak pernah diusut, Prita Mulyasari, si ibu, yang dimasukkan sel oleh jaksa secara seenaknya, atau Prabangsa, wartawan Radar Bali, yang dibunuh dengan brutal karena ia mengkritik orang yang berkuasa.
Ada luka, dan aku ada: pada momen itu aku tahu apa yang tak adil, meskipun aku belum bisa merumuskan apa yang adil. Dan aku terpanggil.
Dalam hal itu, seorang intelektual publik berbeda dengan seorang clerc dalam pengertian Julien Benda. Dalam versi Inggris, kata clerc disebut sebagai ”intelektuil”, tapi itu adalah padanan yang tak tepat. Benda menggunakan kata itu untuk mengacu ke zaman lama Eropa, ke kalangan rohaniwan yang semata-mata mengutamakan nilai-nilai universal, hidup jauh dari pertikaian politik. Mereka tak memihak; mereka jaga kemurnian akal budi. Dalam La Trahison des Clercs Benda mengecam para intelektual yang turun ke keramaian pasar, memihak kepada satu kelompok dan mengobar-ngobarkan ”nafsu politik”.
Harus dicatat: Benda seorang rasionalis sejati. Ia tak mengakui bahwa ”nilai-nilai universal” datang dari pergulatan manusia sebagai makhluk-di-bumi, yang terbatas, yang hidup dengan liyan, yang fana. Benda memisahkan rasionalitas dari dunia, sebagaimana ia menghendaki siapa pun yang setara dengan clerc tak memasuki arena pergulatan politik di mana nilai-nilai universal konon ditampik.
Memang harus diakui, di masa Benda, sebagaimana di masa kini, ada perjuangan politik yang hanya memenangkan cita-cita yang tertutup: kaum Nazi hanya hendak membuat dunia baru bagi ”ras Arya”, kaum ”Islamis” hanya untuk menegakkan supremasi umat sendiri. Apa yang kini disebut ”budayawan”, atau ”inteligensia”, atau ”intelektual publik” yang memihak ke kaum macam itu memang tak akan mengakui politik sebagai tugas yang sedih. Di kancah itu, politik adalah kerja yang brutal.
Tapi kita ingat Nelson Mandela. Ia berjuang sebagai pemimpin kaum kulit hitam, tapi cita-citanya tak hanya untuk kebaikan kaumnya. Dalam cerita Afrika Selatan, luka ketidakadilan itu memanggil keadilan dalam arti yang sebenarnya: sebab sebuah keadaan baru adil bila keadaan itu berlaku bagi siapa saja.
Itulah sifat universal yang berbeda dengan universalitas seorang rasionalis. Universalitas dalam politik Mandela berlangsung dalam proses: universalitas yang, dalam kata-kata Alain Badiou, ”kreatif” karena merombak perbedaan yang berabad-abad dianggap seakan-akan kodrat.
Di situlah seorang intelektual publik seharusnya terpanggil untuk memihak. Tapi dengan itu ia memandang politik sebagai sebuah tugas, bukan untuk sebuah ambisi. Ia tak duduk di tepi ongkang-ongkang, merasa harus bermartabat di mahligai. Ia tak berbeda dengan seorang tetangga yang ikut memadamkan api bila rumah di sudut sana terbakar, bukan hanya untuk menyelamatkan kampung seluruhnya (dan tentu saja rumahnya sendiri), tapi juga karena ia terpanggil untuk tak menyebabkan orang lain menderita.
Dengan demikian, seperti Mandela, memihak tak berarti melenyapkan sikap tak-memihak. Perjuangan, atau pergulatan politik, memang bisa menjadikan sikap memihak jadi mutlak. Di situlah bahaya ”politik sebagai panglima”, yang mengarahkan segala sudut hidup kita seakan-akan bisa kita bikin dunia jadi sempurna. Tidak, kita mau tak mau harus menyadari dunia adalah tempat yang cacat. Tiap perjuangan politik akan terbentur pada keterbatasannya sendiri.
Sebab itu, bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk selama-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini kurang cacat di antara yang amat cacat—sarana sementara untuk mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.
Tak berarti kita menyerah. Tak berarti kita pelan-pelan menghalalkan ketakadilan sebagai kodrat hidup. Sebab, di tengah ketidakadilan yang akut, kita selalu merasakan bahwa kita tak bisa mengelakkan panggilan keadilan. Keadilan yang entah di mana, keadilan yang entah kapan datang.
Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras—dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Tapi kita siap: kalaupun gagal, setidaknya ada yang berharga yang diperkelahikan.
Maka selalu ada saat untuk bertindak dan memihak, ada saat untuk berdiri menjauh, merenungkan apa yang tadi kita lakukan. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo