Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

KO & Non-KO

Nasionalis yang tak bergabung dengan pki, pertama menyebuntukan ko & non-ko. mereka bersikap non-kooperasi, didasarkan atas kepercayaan pada kekuatan & kemampuan sendiri. aktifitas bandung beda dengan surabaya.

22 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUA orang suka merdeka. Pun pembicaraan tentang Ko & Non-ko bukan mengenai perkara orang yang suka merdeka dan orang yang tak pengin merdeka. Keduanya adalah kelompok yang rindu merdeka. Bagi keduanya penjajahan bukanlah hal yang semestinya. Mereka berbeda cuma dalam cara serta taktik perjuangan belaka. Di zaman penjajahan, mereka yang memilih Ko heranggapan bahwa perbedaan sikap antara pihak Ko &Non kobukanlah perbedaan mengenai prinsip. Tidak mengenai tujuan serta cita-cita kemerdekaan. Masalah Ko & Non-ko saat itu berkisar pada pasal mengenai setuju atau tidak setuju untuk menempati kedudukan dalam badan-badan 'perwakilan' rakyat dan menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda. Parindra (Partai Indonesia Raya) merupakan salah satu ksponen dari sikap kooperatif terhadap pemerintah koloal. Mereka mempertahankan sikap bahwa kerjasama dengan pemerintah saat itu, dalam arti menerima kedudukan dalam kepegawaian pemerintahan haruslah dicari sebagai kesempatan yang baik. Sebab dengan kedudukan tersebut orang-orang pribumi akan berpengalaman menjalankan tugas sebagai aparatur negara. Dengan harapan apabila mereka telah cakap melakukan tugas tersebut, dan sewaktu-waktu bila kemerdekaan yang dirindukan itu tiba, maka roda pemerintahan dapat dijalankan sendiri dengan lancarnya. Sikap Parindra tersebut di atas didukung oleh seorang spesialis kolonial yang pintar bernama Mr. Daan van der Zee. Tak apa. Orang ini mengemukakan pendapatnya bahwa artisipasi pribumi dalam badan-badan 'perwakilan' pemerinah kolonial harus diartikan sebagai kesempatan untuk memeroleh 'pendidikan politik'. Tugas politik diartikan sebagai tugas melayani kepentingan masyarakat luas'. Negeri bekas jajahan di Asia (seperti India, Pakistan, Burma, Srilangka, Filipina) memiliki banyak tenaga "terdidik" macam ini. Ketika pemerintah kolonial Inggris angkat kaki, negeri seperti Pakistan dan India tak banyak mengalami kesukaran untuk menggelindingkan roda-roda birokrasi pemerintahannya. Indonesia termasuk negeri yang kurang mujur. Masalah pendidikan, disiplin serta moral para pegawai pemerintahannya telah muncul sebagai soal yang hampir tak bisa diatasi. Bagaimanapun biasanya orang-orang Ko ini kurang populer. Sebagai golongan terpandang, biasanya ketahuan juga bahwa mereka 'sambil menyelam, minum air'. Kena ciprat. Entah sengaja entah tidak tapi air itu sudah mengucur membasahi tenggorokan dan langsung meluncur ke perut tanpa bisa dicegah. Yang jauh dari air, dan haus pula, tentu merasa ditinggalkan. Wajar. Di pihak lain, orang bisa merdeka sambil menjajah, tapi orang tak bisa merdeka sambil dijajah. Dan memikirkan penjajah sebagai oknum yang suka mempertimbangkan usul konstruktif untuk segera mengakhiri penjajahan, kok temyata sulit. Lebih-lebih Belanda yang datang ke Indonesia bukan sebagai (koloni) 'orang', tetapi terutama sebagai (koloni) 'uang, kapital'. Sejelek-jelek orang masih bisa diajak bicara. Tapi uang? BUNG KARNO DI BANDUNG Tak amat jauh Surabaya dari Bandung. Tak berapa jauh pula beda riwayat kedua kota itu di masa perjuangan dulu. Bandung yang 'lautan api', dan Surabaya yang 'arek-areknya berani'. Dan ketika (1924) Surabaya punya Indonesische Studieclub, tak berapa lama Bandung pun punya Algemeene Studieclub. Para pendekar ilmu yang melawat ke Barat itu telah pulang kampung dan mulai mencobakan kebolehan ilmu mereka. Kemampuan pribadi mereka yang telah diasah di Barat menjadi semakin tajam untuk mengupas 'isyarat-isyarat zaman' yang terjadi di kampung mereka sendiri. Ironis memang, sepulang dari Belanda menjadi patriot. Sebagai nasionalis mereka tak berminat bergabung dengan PKI, juga tak berselera masuk partai atau organisasi kedaerahan yang ada. Mereka mendirikan berbagai studieclub yang merupakan langkah pertama bagi pembentukan partai kaum nasionalis yang baru. Para pendekar ini pulalah yang mula-mula melontarkan soal Ko & Non-ko. Adapun studieclub Surabaya dan Bandung, keduanya berciri Non-kooperasi. Tak melihat perlu bekerja-sama dengan Belanda. Tapi tafsiran Bandung tentang Non-ko tak sama dengan tafsiran Surabaya. Surabaya mengambil jaran 'Non-kooperasi taktis', sedang Bandung memilih model 'Non-kooperasi absolut'. 'Taktis' dan 'absolut' bak kata bersayap yang susah ditangkap buntutnya. Studieclub Surabaya pimpinan Dr. Sutomo memakai Non-ko sebagai senjata taktik untuk memaksa Belanda memenuhi tuntutan Indonesia agar terselenggara pembagian tanggungjawab bersama dalam menjalankan pemerinlahan. Sementara Studieclub Bandung yang dipimpin Mr. Iskaq Cokrohadisuryo berpendapat bahwa sikap Non-ko menyangkut soal prinsip untuk mutlak tak bekerjasama dengan Belanda. Ia berkata bahwa bukan masanya lagi mengemis kemerdekaan, satu-satunya senjata yang sisa bagi orang Indonesia adalah Non-kooperasi, yang semata didasarkan kepada kepercayaan kepada kekuatan dan kemampuan sendiri. Radikalisme Bandung ini tak bisa diterapkan di Surabaya, karena mereka lebih heterogen. Banyak pula di antara mereka yang bekerja sebagai pegawai pemerintah. Non-kooperasi Surabaya lebih fleksibel dibanding Bandung. Dr. Sutomo sendiri, tokoh studieclub Surabaya tetap bekerja di rumah sakit pemerintah. Ia memegang keyakinan bahwa profesi dan citacita politik hendaklah dipisahkan. Dalam menjalankan profesinya ia tidak menarik garis tegas antara 'kaum sana' dan 'kaum sini'. Indonesische Studieclub memegang Non-ko sebagai senjata taktis, mereka tak bekerjasama dengan penjajah, namun menyesuaikan langkahlangkahpolitik mereka dengan kebijakan yang diambil oleh Belanda. Berbeda dengan aktifis Surabaya yang banyak bekerja di bidang sosial-ekonomis, Bandung lebih tajam warnanya sebagai permulaan suatu gerakan politik, yang selalu mengambil garis pemisah yang tegas dengan pihak 'sana'. Anggota Algemeene Studieclub Bandung sepenuhnya bebas dari keterikatan kepada sikap partai politik lama yang moderat, dan mereka terdiri atas kelompok yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri. Sukarno, orang Bandung yang suaranya lantang dan uraiannya gampang dicerna orang, menerangkan bahwa pihak 'sana' dan pihak 'sini' tak bisa dijembatani dengan apapun. Jurang yang menganga antara 'sana' dan 'sini' justru terletak dalam kenyataan bahwa 'tuan sana' tetap mau menaiki 'punggung sini'. Dengan kata lain, jembatan untuk menyeberangi jarak 'sana' dan 'sini' adalah bilamana 'tuan sana' turun dari 'punggung sini'. Benar juga kata tokoh ITB ini. Punggung siapa yang tak pegal terus-terusan dinaiki?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus