SEMUA orang suka merdeka. Pun pembicaraan tentang Ko & Non-ko
bukan mengenai perkara orang yang suka merdeka dan orang yang
tak pengin merdeka. Keduanya adalah kelompok yang rindu merdeka.
Bagi keduanya penjajahan bukanlah hal yang semestinya. Mereka
berbeda cuma dalam cara serta taktik perjuangan belaka.
Di zaman penjajahan, mereka yang memilih Ko heranggapan bahwa
perbedaan sikap antara pihak Ko &Non kobukanlah perbedaan
mengenai prinsip. Tidak mengenai tujuan serta cita-cita
kemerdekaan. Masalah Ko & Non-ko saat itu berkisar pada pasal
mengenai setuju atau tidak setuju untuk menempati kedudukan
dalam badan-badan 'perwakilan' rakyat dan menjadi pegawai
pemerintah kolonial Belanda.
Parindra (Partai Indonesia Raya) merupakan salah satu ksponen
dari sikap kooperatif terhadap pemerintah koloal. Mereka
mempertahankan sikap bahwa kerjasama dengan pemerintah saat itu,
dalam arti menerima kedudukan dalam kepegawaian pemerintahan
haruslah dicari sebagai kesempatan yang baik. Sebab dengan
kedudukan tersebut orang-orang pribumi akan berpengalaman
menjalankan tugas sebagai aparatur negara. Dengan harapan
apabila mereka telah cakap melakukan tugas tersebut, dan
sewaktu-waktu bila kemerdekaan yang dirindukan itu tiba, maka
roda pemerintahan dapat dijalankan sendiri dengan lancarnya.
Sikap Parindra tersebut di atas didukung oleh seorang spesialis
kolonial yang pintar bernama Mr. Daan van der Zee. Tak apa.
Orang ini mengemukakan pendapatnya bahwa artisipasi pribumi
dalam badan-badan 'perwakilan' pemerinah kolonial harus
diartikan sebagai kesempatan untuk memeroleh 'pendidikan
politik'. Tugas politik diartikan sebagai tugas melayani
kepentingan masyarakat luas'.
Negeri bekas jajahan di Asia (seperti India, Pakistan, Burma,
Srilangka, Filipina) memiliki banyak tenaga "terdidik" macam
ini. Ketika pemerintah kolonial Inggris angkat kaki, negeri
seperti Pakistan dan India tak banyak mengalami kesukaran untuk
menggelindingkan roda-roda birokrasi pemerintahannya. Indonesia
termasuk negeri yang kurang mujur.
Masalah pendidikan, disiplin serta moral para pegawai
pemerintahannya telah muncul sebagai soal yang hampir tak bisa
diatasi.
Bagaimanapun biasanya orang-orang Ko ini kurang populer.
Sebagai golongan terpandang, biasanya ketahuan juga bahwa mereka
'sambil menyelam, minum air'. Kena ciprat. Entah sengaja entah
tidak tapi air itu sudah mengucur membasahi tenggorokan dan
langsung meluncur ke perut tanpa bisa dicegah. Yang jauh dari
air, dan haus pula, tentu merasa ditinggalkan. Wajar.
Di pihak lain, orang bisa merdeka sambil menjajah, tapi orang
tak bisa merdeka sambil dijajah. Dan memikirkan penjajah sebagai
oknum yang suka mempertimbangkan usul konstruktif untuk segera
mengakhiri penjajahan, kok temyata sulit. Lebih-lebih Belanda
yang datang ke Indonesia bukan sebagai (koloni) 'orang', tetapi
terutama sebagai (koloni) 'uang, kapital'. Sejelek-jelek orang
masih bisa diajak bicara. Tapi uang?
BUNG KARNO DI BANDUNG
Tak amat jauh Surabaya dari Bandung. Tak berapa jauh pula beda
riwayat kedua kota itu di masa perjuangan dulu. Bandung yang
'lautan api', dan Surabaya yang 'arek-areknya berani'. Dan
ketika (1924) Surabaya punya Indonesische Studieclub, tak
berapa lama Bandung pun punya Algemeene Studieclub.
Para pendekar ilmu yang melawat ke Barat itu telah pulang
kampung dan mulai mencobakan kebolehan ilmu mereka. Kemampuan
pribadi mereka yang telah diasah di Barat menjadi semakin tajam
untuk mengupas 'isyarat-isyarat zaman' yang terjadi di kampung
mereka sendiri. Ironis memang, sepulang dari Belanda menjadi
patriot.
Sebagai nasionalis mereka tak berminat bergabung dengan PKI,
juga tak berselera masuk partai atau organisasi kedaerahan yang
ada. Mereka mendirikan berbagai studieclub yang merupakan
langkah pertama bagi pembentukan partai kaum nasionalis yang
baru. Para pendekar ini pulalah yang mula-mula melontarkan soal
Ko & Non-ko.
Adapun studieclub Surabaya dan Bandung, keduanya berciri
Non-kooperasi. Tak melihat perlu bekerja-sama dengan Belanda.
Tapi tafsiran Bandung tentang Non-ko tak sama dengan tafsiran
Surabaya. Surabaya mengambil jaran 'Non-kooperasi taktis',
sedang Bandung memilih model 'Non-kooperasi absolut'.
'Taktis' dan 'absolut' bak kata bersayap yang susah ditangkap
buntutnya. Studieclub Surabaya pimpinan Dr. Sutomo memakai
Non-ko sebagai senjata taktik untuk memaksa Belanda memenuhi
tuntutan Indonesia agar terselenggara pembagian tanggungjawab
bersama dalam menjalankan pemerinlahan. Sementara Studieclub
Bandung yang dipimpin Mr. Iskaq Cokrohadisuryo berpendapat bahwa
sikap Non-ko menyangkut soal prinsip untuk mutlak tak
bekerjasama dengan Belanda. Ia berkata bahwa bukan masanya lagi
mengemis kemerdekaan, satu-satunya senjata yang sisa bagi orang
Indonesia adalah Non-kooperasi, yang semata didasarkan kepada
kepercayaan kepada kekuatan dan kemampuan sendiri.
Radikalisme Bandung ini tak bisa diterapkan di Surabaya, karena
mereka lebih heterogen. Banyak pula di antara mereka yang
bekerja sebagai pegawai pemerintah. Non-kooperasi Surabaya lebih
fleksibel dibanding Bandung. Dr. Sutomo sendiri, tokoh
studieclub Surabaya tetap bekerja di rumah sakit pemerintah. Ia
memegang keyakinan bahwa profesi dan citacita politik hendaklah
dipisahkan. Dalam menjalankan profesinya ia tidak menarik garis
tegas antara 'kaum sana' dan 'kaum sini'. Indonesische
Studieclub memegang Non-ko sebagai senjata taktis, mereka tak
bekerjasama dengan penjajah, namun menyesuaikan
langkahlangkahpolitik mereka dengan kebijakan yang diambil oleh
Belanda.
Berbeda dengan aktifis Surabaya yang banyak bekerja di bidang
sosial-ekonomis, Bandung lebih tajam warnanya sebagai permulaan
suatu gerakan politik, yang selalu mengambil garis pemisah yang
tegas dengan pihak 'sana'. Anggota Algemeene Studieclub Bandung
sepenuhnya bebas dari keterikatan kepada sikap partai politik
lama yang moderat, dan mereka terdiri atas kelompok yang mampu
menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri.
Sukarno, orang Bandung yang suaranya lantang dan uraiannya
gampang dicerna orang, menerangkan bahwa pihak 'sana' dan pihak
'sini' tak bisa dijembatani dengan apapun. Jurang yang menganga
antara 'sana' dan 'sini' justru terletak dalam kenyataan bahwa
'tuan sana' tetap mau menaiki 'punggung sini'. Dengan kata lain,
jembatan untuk menyeberangi jarak 'sana' dan 'sini' adalah
bilamana 'tuan sana' turun dari 'punggung sini'.
Benar juga kata tokoh ITB ini. Punggung siapa yang tak pegal
terus-terusan dinaiki?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini