Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Hamidi*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM ilmu hukum dikenal asas actus non facit reum nisi mens sit rea. Menyitir Sayre (1932), asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dianggap bersalah (karena tindakannya, actus reus) kecuali apabila dilakukan dengan maksud jahat (mens rea). Dalam doktrin hukum yang berlaku, antara actus reus dan mens rea mesti dalam satu tarikan napas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ambil contoh, misalnya, (1) seorang pengemudi mobil yang menabrak seorang pejalan kaki dengan maksud agar pejalan kaki itu mati dan (2) seorang pengemudi mobil berkendara ugal-ugalan lantas menabrak seseorang hingga mati. Tindakan keduanya, jelas, sama-sama menabrak orang hingga mati. Konkret. Ada nyawa yang melayang. Investigasi kepolisian berlanjut pada upaya penemuan unsur maksud jahat tiap kasus; mana yang berupa kesengajaan (dolus) dan mana yang berupa kelalaian (culpa). Konsekuensi hukum keduanya berbeda.
Dalam kasus dugaan kejahatan berbahasa (kejahatan yang diejawantahkan melalui bahasa), tindakan tidak melulu tampak terang-benderang. Konstruksi suatu tuturan boleh jadi tidak tampak merepresentasikan kejahatan berbahasa, tapi kenyataannya mengandung maksud jahat dari penuturnya—yang semestinya menimbulkan kerugian bagi mitra tutur. Hanya penutur dengan kompetensi dan performansi berbahasa tinggi yang dapat melakukan itu. Sebaliknya, bisa juga penutur tidak punya maksud jahat dalam bertutur, tapi ada pihak lain yang merasa dirugikan. Kita menyebut ini “kepeleset lidah” (atau “kepeleset jempol”?).
Di sinilah repotnya. Antara tuturan (lokusi), maksud (ilokusi), dan dampak (perlokusi) bisa sama sekali berbeda. Bahasa abstrak. Penyampaiannya bisa eksplisit, bisa implisit. Pemaknaannya bisa denotatif, bisa pula konotatif. Karena berkaitan dengan nilai rasa, sangat mungkin penafsiran antara satu dan lain pihak berbeda atas tuturan yang sama. Dalam komunikasi sehari-hari, ketika menafsirkan makna bahasa dan maksud penutur, orang-orang tidak butuh teori. Tanpa perlu dibekali teori-teori pragmatik, dalam kesehariannya, mereka “berpragmatik” secara alamiah. Apabila mengkaji bahasa, tentu tidak demikian, apalagi dalam konteks mengkaji kejahatan berbahasa.
Dalam kasus “evolusi” dan “Islam arogan”, misalnya, pertanyaan yang mesti kita ajukan bukan lagi tentang “apa makna ‘evolusi’ dan ‘Islam’?”, melainkan “apa yang Anda maksudkan dengan ‘evolusi’ dan ‘Islam’?” Dalam pragmatik, kita butuh koteks dan konteks yang tidak hanya terbatas pada topik tutur, peserta tutur, gilir tutur, situasi tutur, waktu tutur, saluran tutur, dan identitas sosial serta relasi sosial antarpeserta tutur. Sekadar berpedoman pada definisi dalam kamus, tidak cukup. Makna kamus itu setitik, maksud pragmatis selautan.
Pemaknaan mitra tutur atas maksud penutur berkaitan erat dengan pengetahuan atau pemahamannya tentang apa yang dituturkan. Mitra tutur yang sama sekali tidak mengetahui teori evolusi dan mitra tutur yang memahami teori itu tentu berbeda dalam menyikapi tuturan “Sudah selesai evolusi belom kau?”. Mitra tutur jenis pertama barangkali menjawab secara denotatif sesuai dengan kontribusi yang dibutuhkan penutur atas pertanyaannya, sedangkan mitra tutur jenis kedua punya lebih banyak tafsiran untuk menyikapi evolusi dalam pertanyaan itu, bahkan untuk merasa tersinggung.
Sekalipun si pemilik teori tidak menyatakan secara eksplisit bahwa manusia adalah kera yang ber-evolusi, tapi kata evolusi, dalam konteks tertentu, telah mengalami peyorasi di tengah masyarakat kita. Kata itu bernuansa sarkastis. Penutur tentu dapat menduga kenyataan itu sebelum menggunakannya. Ditambah masalah “evolusi” ini tidak berselang lama dengan unggahan foto “antara orang dan binatang”. Orang yang dirujuk sama. Binatangnya yang itu pula. Lagi pula, apa sih koherensi antara sudah atau belum selesai evolusi dan kapasitas mitra tutur—dalam konteks perbandingan kapasitas mitra tutur dan jenderal purnawirawan? Saya pikir penting bagi kita mengetahui hubungannya secara logis.
Lain lagi dengan ini. Dalam wawancara di televisi, penutur mengklarifikasi bahwa konsep “Islam” dalam tuturan “Yang arogan di Indonesia itu adalah Islam sebagai agama pendatang dari Arab kepada budaya asli kearifan lokal” adalah Islam transnasional, bukan Islam secara keseluruhan. Kalau memang begitu maksudnya, mengapa tidak pakai istilah Islam transnasional saja? Istilah itu, setidaknya menurut saya, lebih tepat sasaran dan “aman”. Generalisasi justru tampak dari klausa Islam sebagai agama pendatang yang merujuk pada segala macam Islam. Soalnya, di Indonesia, Islam memang datang dari jazirah Arab. Islam bukan agama lokal. Selain itu, dalam dimensi kewacanaan, tuturan tersebut tidak menunjukkan relevansi dengan konteks cuitan yang dikomentari penutur. Sperber dan Wilson (1986) tentu sebal kepada penutur semacam ini. Tapi, ya sudahlah, apa pula kepentingan penutur repot-repot memikirkan alternatif diksi dan konstruksi tuturan, bukan?
Semua orang pandai berbahasa, tapi tidak semua orang bijaksana dalam menggunakan bahasa. Di gelanggang dengan lalu lintas informasi elektronik yang supertinggi ini, risiko terperosok dalam tindak kejahatan berbahasa makin besar. Ingat, tafsir bahasa luas!
*) ALUMNUS PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA, MENYUSUN TESIS BERJUDUL “ANALISIS PRAGMATIK TUTURAN BERMUATAN TINDAK PIDANA: KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo