Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tersengat Kapal Pertamina

12 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP upaya pengusutan kasus korupsi di negeri ini patut didukung. Begitu pula upaya Kejaksaan Agung membongkar praktek korupsi dalam tender penjualan dua tanker very large crude carrier milik Pertamina tiga setengah tahun lalu. Tidak cukup hanya bermodal tekad, kejaksaan perlu bukti-bukti kuat di tangan untuk membawa kasus itu ke meja hijau. Bukti sangat penting untuk menghapus kesan bahwa pengusutan kasus ini berlatar belakang kepentingan politis semata.

Kecurigaan adanya latar belakang politis setidaknya kini disuarakan oleh Laksamana Sukardi, setelah Menteri Negara BUMN di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri ini ditetapkan sebagai tersangka. Status serupa disematkan kejaksaan kepada dua mantan petinggi Pertamina, yaitu Direktur Utama Ariffi Nawawi dan Direktur Keuangan Alfred Rohimone.

Laksamana punya alasan untuk percaya bahwa isu tanker ini hidup kembali setelah muncul Laporan Panitia Khusus DPR pada pertengahan tahun lalu. Sebab, dalam laporan disebutkan bahwa tindakan Laks dan dua petinggi tadi dalam menjual tanker bisa dikategorikan korupsi. Terang saja ia terbakar.

Mudah ditebak mengapa Laks kemudian seperti ”menunjuk” PDI Perjuangan di balik semua ini. Ia menghubungkan dibukanya kembali kasus ini dengan eksodus kecil sejumlah tokoh PDI Perjuangan, termasuk dirinya, yang kemudian mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan. Yang terjadi kemudian adalah perang pernyataan. Laks menganggap PDI Perjuangan ”bermain” dalam kerja Panitia Khusus—antara lain karena Gayus Lumbuun dari Fraksi PDIP duduk di sana—sedangkan PDIP keras membantahnya.

Urusan politik biarlah diselesaikan dua pihak itu. Yang penting bagi kejaksaan adalah bukti. Tak cukup hanya bersandar pada sejumlah bukti yang disodorkan Panitia Khusus. Perlu bahan lebih solid untuk menyusun dakwaan. Tiga persyaratan dakwaan korupsi mesti dipenuhi: adanya perbuatan melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan kerugian negara. Kejaksaan perlu bekerja lebih keras karena Komisi Pemberantasan Korupsi pun belum menemukan adanya tindak pidana korupsi dalam kasus ini.

Ambil contoh soal adanya kerugian negara. Panitia Khusus dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berpendapat terjadi kerugian negara sampai US$ 20-56 juta. Kerugian itu terjadi karena dua tanker pesanan Pertamina yang masih dalam proses pembuatan di galangan kapal Hyundai Korea Selatan itu hanya dijual US$ 184 juta ke Frontline Ltd. Pertamina menjual karena butuh uang cepat untuk menambal cash flow ketika itu. Padahal harga pasar waktu itu US$ 204-240 juta. Kesimpulan ini perlu diuji. Harga jual diperoleh dari proses tender dengan penawaran tertinggi US$ 183,5 juta. Harga beli dua tanker itu pun hanya US$ 110 juta.

Perlu dikejar juga dugaan bahwa Laksamana memperkaya diri sendiri. Dari hasil penyelidikan KPK, belum ditemukan bukti adanya aliran dana ke kantong Laks dan dua koleganya tadi. Soal pelanggaran hukum pun perlu digali lebih dalam karena, menurut Laksamana, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 telah mengatur pelimpahan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN. Atas dasar itu, Laks merasa berhak mewakili pemerintah dalam rapat pemegang saham yang memutuskan rencana penjualan tanker tersebut.

Itu bukan berarti proses tender ini bersih tanpa catatan. Hasil penyelidikan KPPU dua tahun lalu menyimpulkan proses tender telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Temuan KPPU bahwa terdapat sejumlah indikasi persekongkolan di balik tender mesti dikupas habis.

Perlu ditelisik alasan Pertamina memenangkan Frontline Ltd. meskipun tawaran perusahaan ini pada mulanya lebih rendah ketimbang tawaran Essar Shipping, pesaingnya. Belakangan ada yang mengetahui bahwa Frontline dimenangkan setelah Goldman Sachs, penasihat keuangan Pertamina, menerima penawaran harga baru Frontline ketika batas waktu pengajuan penawaran telah ditutup.

Dugaan kolusi kian menyengat setelah diketahui bahwa Goldman Sachs punya hubungan kepemilikan saham tidak langsung dengan Frontline. Maka sudah tepat bila KPPU mempersoalkan penunjukan Goldman sebagai penasihat Pertamina dalam penjualan tanker. Goldman ditunjuk langsung, bukan melalui proses beauty contest seperti umumnya. Jika ini semua terbukti benar, kesimpulan Panitia Khusus DPR, bahwa telah terjadi praktek memperkaya pihak lain atau korporasi, cukup beralasan dan bisa dipakai sebagai salah satu argumen menyusun dakwaan korupsi.

Tentu kejaksaan masih perlu lebih banyak ”peluru”. Kepiawaian aparat kejaksaan untuk mencari bukti-bukti kuat dugaan korupsi di balik tender tanker Pertamina ini sangat dituntut. Hanya dengan cara itu tudingan Laksamana bahwa ada kepentingan politis di balik pengusutan dirinya bisa ditangkis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus