Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisa dimengerti kegusaran Perdana Menteri Australia John Howard ketika mendengar belasan pelaku bom Bali dan Kedutaan Australia di Jakarta, yang seharusnya mendekam di penjara, bisa keluar dan menyantap kolak, kebab, serta nasi kotak bersama Brigjen Polisi Surya Darma. Tindakan Kepala Unit Antiteror ini mengundang para terpidana teroris untuk buka puasa di rumahnya di Jakarta Selatan, sehari menjelang Lebaran, agak berlebihan.
Mestinya polisi paham bahwa Australia, yang kehilangan banyak warga negaranya dalam aksi bom itu, cepat merasa gerah dalam kasus ini. Bahkan, ketika pertama kali Amrozi tertangkap, dan dalam kesempatan itu Kapolri saat itu Jenderal Da’i Bachtiar terlihat tertawa-tawa bersama, itu saja sudah mengherankan mereka. Apalagi kemudian tersiar kabar bahwa Ali Imron, pelaku aksi bom Bali, pernah kepergok sejumlah wartawan sedang ngopi bersama petinggi Mabes Polri Gorries Mere di Starbuck Coffee Ex Plaza, Jalan Thamrin, Jakarta. ”Cara-cara Indonesia” pasti dianggap memuakkan oleh negara tetangga itu.
Tidak banyak komentar dari pihak kepolisian menanggapi kegusaran Howard. Para petinggi hanya memberikan argumen bahwa tindakan itu bagian dari strategi baru pihak kepolisian dalam memerangi terorisme, yaitu menggunakan para teroris sebagai informan. Teroris yang dianggap insyaf dibutuhkan untuk mengorek keterangan kawan-kawan lainnya yang masih berkeliaran ”di bawah tanah”.
Mereka juga digunakan untuk penyadaran umat. Sesekali mereka diperbolehkan memberikan ceramah untuk mencegah munculnya bibit baru teroris. Taktik membina ”orang dalam”, menurut pihak kepolisian, merupakan teknik umum yang digunakan kepolisian negara lain.
Sungguh menarik—dan kurang terang apakah teknik ini juga dilakukan negara lain—bahwa kepolisian kita menjalankan taktik kekeluargaan. Mereka yang mau bekerja sama dengan polisi mendapat kompensasi. Ali Imron diberi keleluasaan menggunakan telepon genggam. Jatah pulsa ditanggung. Kebutuhan keluarga dan biaya sekolah para informan itu dicukupi. Keluarga mereka ada yang didanai untuk mengembangkan bisnis tanaman adenium. Bahkan di dalam tahanan polisi ada terpidana yang dibiayai kuliah di Universitas Terbuka dan mengerjakan tugas-tugasnya dengan laptop.
Cara ”penanganan psikologis ala Indonesia” ini mungkin makin membuat Howard ”sakit perut”. Meskipun dianggap terlalu toleran dan memberikan banyak privilese terhadap terpidana, sepanjang membuahkan hasil baik, cara ini perlu terus dicoba. Apalagi kalau benar bahwa sukses penangkapan Amir Jamaah Islamiyah Zarkasih dan panglima sayap militer JI Abu Dujana ditempuh dengan cara baru ini.
Yang diperlukan adalah aturan ”peminjaman” narapidana dan mekanisme pertanggungjawaban dana yang jelas. Tidak bisa dengan dalih ”taktik pendekatan keluarga” lantas bisa gampang saja polisi keluar uang. Perlu aturan untuk memanfaatkan ”jasa” terpidana. Jangan sampai publik kerap terheran-heran menyaksikan seorang terpidana terorisme gentayangan di plaza, mal, atau hotel bersama penyidik.
Disarankan agar salah satu anggota Komisi Kepolisian Nasional mengkaji fasilitas yang diberikan kepolisian kepada para terpidana yang dijadikan informan itu. Kalau perlu, semua kegiatan pembinaan informan itu harus disertai supervisi Komisi Kepolisian. Dalam soal pertanggungjawaban dana, Badan Pemeriksa Keuangan perlu lebih cermat memeriksa anggaran kepolisian. Pos dana ”pemanfaatan jasa teroris” perlu pengawasan ketat agar tidak meluber ke mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo