Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Koperasi: ciuman maut dari atas

Intervensi pemerintah yang terlalu banyak dapat juga merugikan pertumbuhan koperasi. misalnya dengan didrop tenaga pengurus dari kalangan pegawai negeri. namun intervensi pemerintah juga tak selalu salah.

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI Koperasi -- yang jatuh pada setiap 12 Juli -- tahun ini akan dirayakan sesudah Puasa, satu bulan sesudahnya. Menjelang peringatan suatu hari penting sering timbul berbagai adu pikiran, seolah-olah bangsa sedang mengadakan introspeksi. Dewasa ini, pertukaran pendapat mengenai masalah-masalah idiil juga mendapat dorongan oleh karena banyak perhatian tertuju kepada persiapan perumusan Garis Besar Haluan Negara. Banyak kalangan yang masih ingin menyumbangkan suatu masukan. Bahwa koperasi akan masuk GBHN yang baru, ini sudah dapat dipastikan. Juga bahwa ia akan menempati kedudukan yang utama. Koperasi tidak dapat dipisahkan dari sasaran pemerataan, karena koperasi adalah wahana perjuangan utama kaum ekonomi lemah. Bahwa sasaran-sasaran pemerataan masih akan masuk GBHN yang akan datang, bahkan merajainya, ini juga sudah dapat diramalkan. Sekali pemerintah di Indonesia -- suatu negara yang lahir dari kancah revolusi politik dan sosial-menempatkan sasaran pemerataan sebagai prioritas utama dalam program pembangunannya (sejak Repelita III), maka ia tidak dapat berhenti setelah satu kali Pelita. Pemerataan merupakan tujuan yang harus dicapai lewat berbagai kebijaksanaan dan program, secara ulet dan teratur, dan yang akan memakan waktu dua, mungkin tiga atau empat kali Pelita. Pemerataan merupakan suatu proses ekonomi, sosial, budaya dan politik, yang berjalan lama. * * * Koperasi mendapat berbagai tafsiran, ada yang historis dan "murni", ada yang kontemporer dan "pragmatis". Aliran pertama mudah dapat mencela usaha-usaha pemerintah sekarang karena dapat dilihat sebagai mengingkari kaidah-kaidal tradisional dari suatu gerakan koperasi. Ada juga pendapat yang melihat koperasi di Indonesia sebagai wahana dan penjelmaan tujuan sosialisme. Sosialisme adalah suatu ideologi yang menolak kapitalisme. Maka koperasi tidak boleh dicemarkan oleh unsur-unsur kapitalisme. Kaum pelaksana di kaangan pemerintah tidak dapat melepaskan dirinya dari pola institusional dan pola kebijaksanaan yang meliputi pembangunan. Mereka cenderung bersikap pragmatis. Doktrin resmi melihat pembangunan sebagai "pembangunan nasional yang merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan sebagainya." Sasaran pembangunan adalah terwujudnya "demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, dan sebagainya". Semuanya ini akan ditegaskan lagi dalam GBHN. Maka pembangunan koperasi juga harus berlatar belakang landasan idiil ini. Tetapi sistem ekonomi dalam masa orde baru juga mengandalkan kepada mekanisme pasar, kepada keterbukaan ekonomi terhadap perdagangan, investasi dan bantuan luar negeri, kepada eksistensi perusahaan negara, perusahaan asing (PMA), perusahaan swasta nasional dalam negeri, baik yang besar, menengah, maupun yang kecil, baik yang dimiliki oleh kalangan nonpribumi maupun pribumi. Sistem ekonomi dalam masa orde baru, walaupun mengandalkan kepada mekanisme pasar, namun bukan liberal, dalam arti kata "laissez faire" atau "lepas tangan". Campur tangan pemerintah banyak sekali, lewat anggaran belanjanya, lewat sistem perpajakannya, lewat kebijaksanaan moneter dan kreditnya, lewat pengawasan dan pengendalian harga di beberapa sektor, dan sebagainya. Maka sistem ekonomi di Indonesia adalah majemuk dan campuran dari berbagai unsur (mixed system). Dalam alam dan lingkungan demikian itulah koperasi Indonesia harus bertahan hidup, tumbuh dan berkembang. Untuk mengharapkan alam dan lingkungan itu berubah secara drastis atau radikal, misalnya menjadi lebih murni "sosialistis", kiranya agak khayal. Sistem ekonomi yang majemuk dan campuran ini telah berhasil untuk memajukan ekonomi Indonesia sejak permulaan orde baru, karena itu tidak masuk akal ia akan digantikan. Sudah tentu harus disadari masa yang akan datang, dan Repelita IV dan V, mempunyai tuntutan-tuntutan sendiri. Kemajuan ekonomi harus diteruskan, akan tetapi distorsi-distorsinya harus diluruskan. Maka masa yang akan datang adalah masa untuk mengadakan penyesuaian. Pemerataan masih harus menguasai sistem prioritas untuk satu atau dua kali Pelita. *** Banyak penganjur gerakan koperasi takut bahwa unit-unit koperasi tidak akan bertahan hidup dalam persaingan dengan unit-unit ekonomi yang lebih kuat, yaitu swasta besar asing, swasta besar nasional, perusahaan negara, dan sebagainya. Dalam persaingan dan pertarungan bebas di medan pasar maka yang kecil dan lemah memang sukar bertahan terhadap yang besar dan kuat. Tapi justru yang kecil dan lemah ini harus mendapat perlindungan politik dari pemerintah. Dalam sistem ekonomi Indonesia sudah terdapat banyak perlindungan dan pemberian bantuan kepada pertumbuhan koperasi. Hal-hal demikian nanti juga akan tampak lagi di GBHN, misalnya keringanan pajak, fasilitas kredit, perlindungan terhadap persaingan dari perusahaan besar (mungkin dengan penutupan beberapa cabang kegiatan rakyat bagi perusahaan besar), dan sebagainya. Pendukung gerakan koperasi yang 'pragmatis" lebih menekankan kepada kebutuhan tenaga kader pengurus yang teknis mampu, dan menganjurkan diadakannya pendidikan dan latihan secara besar-besaran untuk memperbaiki mutu kader dan pengurus koperasi. Ko-eksistensi antara unit-unit ekonomi yang berbeda makna, seperti koperasi dengan perusahaan swasta dan dengan perusahaan negara, selain memerlukan peralatan perlindungan dan bantuan khusus bagi sektor koperasi, juga memancing usul-usul mengenai bentuk-bentuk kerja sama dan cara-cara integrasi (atau interaksi). Koperasi adalah bentuk usaha kerja sama ekonomi antara perorangan, dan dasar untuk mengambil keputusan adalah "satu-anggota-satu-suara". Perusahaan swasta adalah bentuk usaha ekonomi yang berpusat kepada pengumpulan modal, dan dasar mengambil keputusan adalah "satu-saham-satu-suara". Bagi pendukung gerakan koperasi yang murni (purist) mungkin tidak bisa ada kompromis, atau integrasi, antara kedua sistem itu. Sebaliknya, kaum pragmatis cenderung mencari bentukbentuk interaksi yang dapat bekerja secara aman dalam praktek. Maka dewasa ini ada gagasan-gagasan untuk mengaitkan kedua sistem itu. Misalnya, koperasi, dari sisa usahanya ditambah dengan kredit bank, dapat mengadakan investasi dalam suatu perusahaan perseroan, artinya memegang sahamnya. Misalnya, koperasi konsumsi pegawai negeri (yang besar) dapat memiliki pabrik yang membuat barang yang diperlukannya. Pabrik itu dapat berbentuk PT. Perusahaan-perusahaan PMA dan PMDN dianjurkan atau diwajibkan untuk menunjuk koperasi konsumsi dan distribusi sebagai salah satu saluran tata niaganya. PMA dan PMDN (juga Perusahaan Negara) dianjurkan untuk membantu dan menunjuk koperasi produsen kecil sebagai subkontraktornya. Dan sebagainya. Hubungan-hubungan demikian itu nanti tidak akan bebas dari persoalan. Dalam hubungan antara si kuat (swasta-PN) dan si lemah (koperasi) maka yang kuat dapat mendikte prsyaratan yang dirasakan oleh si lemah sebagai beban yang tidak adil. Instansi pemerintah lagi yang harus bertindak sebagai wasit. Tidak selalu si lemah harus dibenarkan. Si lemah itu bisa juga manja dan cengeng, karena tahu mendapat perlindungan pemerintah. Kalau terlalu dimanjakan maka ia tak akan tumbuh dan menjadi kuat. *** INTERNSI pemerintah yang terlalu banyak dapat juga merugikan pertumbuhan koperasi, sebagaimana juga intervensi pemerintah yang terlalu banyak dalam mekanisme pasar dapat menyebabkan berbagai distorsi dalam hal alokasi sumber-sumber dana masyarakat. Justru oleh karena koperasi banyak yang masih lemah tapi diberi tugas berat dan sasaran-sasaran (jatah) yang harus dicapai (misalnya pada koperasi pertanian dan pedesaan), maka pemerintah seolah-olah tak sabar membiarkan diri pertumbuhan koperasi. Koperasi lalu "digarap" dari atas. Misalnya didrop tenaga pengurus dari kalangan pegawai negeri. Maksudnya baik, tetapi terlalu banyak intervensi bisa bersifat "kiss of death " (ciuman maut). Kalau pangkal tolak adalah "pragmatisme", maka tidak dapat dinyatakan secara apriori bahwa intervensi pemerintah selalu salah kaprah. Tergantung dari kualitas dan cara-caranya intervensi, dan kesadaran serta pengakuan para pejabat bahwa pertumbuhan otonom dari para anggota koperasi ("pertumbuhan dari bawah"), adalah tujuan yang paling penting. Bllkan pencapaian berbagai target resmi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus