BERITA mengenai polisi korupsi sebetulnya bukan hal yang menghebohkan. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan gambaran sosok polisi yang memperjualbelikan wewenangnya dengan terbuka. Mereka yang menggunakan kendaraan bermotor, yang jumlahnya jutaan itu, umumnya mengetahui—bahkan sebagian pernah terlibat langsung—dalam kegiatan denda "damai" yang lumrah terjadi di jalanan. Belum lagi pengalaman ketika mengurus pembuatan surat izin mengemudi atau perpanjangannya di kantor resmi yang penuh calo berbaju dinas, yang menjanjikan jalan pintas untuk sejumlah uang tambahan.
Bila tanpa pelanggaran saja banyak orang dijadikan ladang pendapatan, bisa dibayangkan apa yang terjadi pada pihak yang berurusan dengan hukum. Maka, jangan heran jika kebanyakan pengacara sudah memasukkan biaya kolusi dengan polisi—juga jaksa, hakim, dan aparatnya—sebagai bagian dari tarif resmi yang disodorkan ke para kliennya. Apa boleh buat, dengan memelesetkan sedikit ungkapan Mochtar Lubis yang terkenal itu, "Korupsi sudah menjadi kebudayaan di kalangan polisi."
Itulah sebabnya, yang menjadi berita adalah kabar tentang upaya serius pemerintah untuk menindak polisi yang korup dan bukan soal keterlibatan mereka dalam kegiatan haram itu sendiri. Apalagi informasi ini bersumber dari dalam, yaitu segepok dokumen Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan yang bocor ke kalangan wartawan dan isinya menuding keterlibatan sekelompok perwira tinggi polisi dalam kegiatan korupsi. Dalam dokumen tersebut ditengarai terjadi aksi patgulipat yang melibatkan bekas Kepala Kepolisian Jenderal Roesmanhadi dan beberapa stafnya yang diperkirakan merugikan negara Rp 300 miliar. Karena itu, menurut informasi yang tertera dalam rekomendasi tim penyelidik di laporan resmi tersebut, mereka harus diusut untuk diproses ke meja hijau.
Jenderal dibawa ke meja hijau? Ini tentu berita besar. Apalagi bagi mereka yang pernah merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat polisi. Bila pemerintah berani dan mau menindak polisi yang berpangkat jenderal, bukankah berarti langkah yang tepat untuk mulai memberantas korupsi dan kolusi di jajaran penegak hukum mulai diayunkan?
Seandainya saja jawaban untuk pertanyaan itu betul-betul positif, kita semua tentu bergembira. Sayangnya, ada beberapa indikasi yang tidak sehat. Misalnya saja, mengapa pemerintah tidak langsung saja menindak dan membawa mereka yang dituduh melanggar hukum itu ke pengadilan. Kenyataan bahwa dokumen yang seharusnya bersifat rahasia itu bocor ke media massa tentu bukan soal kebetulan. Setidaknya ada dua kemungkinan yang menjadi motivasi pembocornya: karena merasa hasil pekerjaannya tidak akan ditindaklanjuti atau—seperti diutarakan beberapa sumber di jajaran kepolisian—ada motif politis di belakangnya.
Kalaupun memang ada motif tak sehat di balik aksi pembocoran ini, ada baiknya kita tidak terlalu terpaku pada dugaan ini. Sebab, persoalan yang lebih penting adalah masalah benar-tidaknya tuduhan itu dan memastikan proses hukum berjalan sesuai dengan aturan. Bila pengadilan membuktikan mereka bersalah, mereka harus mendapat hukuman yang setimpal, dan bila tidak nama baik mereka harus dipulihkan.
Ada alasan kuat mengapa masyarakat luas harus memperhatikan kelanjutan peristiwa ini dengan seksama. Utamanya adalah karena upaya membersihkan jajaran kepolisian dari segala macam kegiatan perkeliruan memang harus mendapat prioritas tinggi. Maklum, perihal berwibawa atau tidaknya institusi penegak hukum ini—berarti juga bersih atau tidaknya—akan merupakan faktor yang menentukan apakah proses demokratisasi di Indonesia akan berjalan lancar atau justru tergelincir ke jurang keterbelakangan.
Bagaimana tidak. Polisi adalah ujung tombak hukum yang menentukan apakah seseorang yang melakukan pelanggaran harus diproses ke pengadilan atau tidak. Suatu wewenang yang harus dilaksanakan dengan hati-hati karena dampaknya bagi yang menerima keputusan ini bisa cukup menakutkan. Wewenang yang besar tapi tetap harus diberikan kepada polisi agar tugasnya menjaga kebebasan masyarakat dan pemerintah dari rasa takut akibat ulah para pelanggar hukum dapat berjalan dengan efektif.
Di lain pihak, kombinasi wewenang besar, gaji tak memadai, dan supervisi yang lemah adalah resep untuk munculnya korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya. Karena itu, upaya membersihkan jajaran kepolisian harus juga mengatasi persoalan gaji dan sistem supervisi. Bukan soal mudah tapi juga bukan hal yang tidak mungkin diatasi jika semua anak bangsa memang ingin melakukannya.
Salah satu caranya adalah dengan belajar dari pengalaman di negara lain. Sejarah pembangunan di Singapura, misalnya, menunjukkan investasi dalam bentuk membuat gaji jajaran aparat hukum memadai ternyata memberikan hasil gemilang. Sementara itu, pengalaman di negeri lain, yang gaji polisinya mencukupi, menunjukkan sistem supervisi internal saja tidaklah memadai untuk mengendalikan wewenang polisi. Maka, pemerintah Indonesia juga harus sigap untuk segera membentuk komisi pengawas polisi yang berisi tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal mempunyai kredibilitas tinggi.
Upaya meningkatkan kredibilitas polisi ini, senang atau tidak, harus mendapatkan prioritas tinggi. Sebab, taruhannya terlalu tinggi: keberhasilan atau kegagalan proses demokrasi di Republik ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini