Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panorama aneh itu kita saksikan di layar televisi seperti mimpi. Ketika dunia memandang fundamentalisme Islam bak gelombang pasang yang mengancam hukum sekuler, menggantikannya dengan syariah, Turki bergerak ke arah sebaliknya.
Memang perkembangan politik mutakhir di Turki memperlihatkan fenomena tak biasa. Tak jelas lagi siapa yang fundamentalis dan siapa yang bukan, tatkala angkatan bersenjata mengirim pesan istimewa, tepat menjelang Hari Buruh, 1 Mei. Malam itu, beberapa jam sebelum pengadilan konstitusi memutuskan sah-tidaknya pemilihan presiden di parlemen, mereka memasukkan sebuah maklumat di website militer. Isinya cukup menggetarkan: negeri itu telah perlahan-lahan diseret menuju sebuah model teokrasi, dan angkatan bersenjata tak akan membiarkan ini terjadi.
Seorang pengamat menggambarkan itu sebuah e-coup, kudeta lewat sepucuk e-mail. Sedangkan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan—ia juga dari Partai Keadilan dan Pembangunan—menyebut ancaman itu ”sebutir peluru yang ditembakkan kepada demokrasi”.
Pagi itu, sebelas hakim di pengadilan konstitusi memutuskan: pemilihan itu tidak kuorum. Dengan kata lain, Abdullah Gur, calon dari partai muslim yang menguasai parlemen, Partai Keadilan dan Pembangunan, gagal menjadi presiden. Dan siapa pun bisa mencium tekanan militer dalam keputusan itu.
Amerika Serikat diam, tapi kemudian kita mendengar—meski agak sayup— Uni Eropa kecewa. Turki negara penting, dan jika negeri itu menjadi bagian dari Uni Eropa kelak, dialah satu-satunya negara Islam dalam blok itu. Ya, kehadiran Turki di Uni Eropa nanti akan menebarkan pesan bahwa Uni Eropa adalah kumpulan negara dengan aneka latar belakang—tak terkecuali Turki yang Islam, tapi juga demokratis. Dan sejauh ini PM Erdogan cukup berhasil menunjukkan Turki di bawah kepemimpinannya sebagai negara Islam moderat.
Erdogan, juga Partai Keadilan dan Pembangunan, menyadari sentimen anti-syariah di antara negara Eropa dan militer Turki sendiri, bersikap akomodatif terhadap kepentingan-kepentingan itu. Ia mengajukan Abdullah Gur, yang punya akar muslim tapi moderat dan diharapkan bisa diterima kaum militer itu, sebagai calon presiden. Yang lebih penting, Erdogan berhasil mengantar Turki ke sebuah fase menggembirakan. Ekonominya lebih stabil, pertumbuhan yang tinggi, inflasi terjaga, dan investasi asing yang membengkak. Diakui atau tidak, sosok Erdogan lebih meyakinkan daripada para politisi dari partai sekuler, apalagi militer.
Tapi inilah Turki. Tujuh puluh tahun setelah Kemal Attaturk, angkatan bersenjata tidak melihat ada yang perlu berubah dari perannya selama ini. Satu peran profetis, sebagai pelindung sekularisme Turki. Dan sejarah mencatat: telah empat kali militer Turki—baik itu terselubung maupun tidak—melancarkan kudeta terhadap pemerintah sipil yang terpilih secara demokratis. Dan kini, ketika dunia berubah, ketika 55 persen perempuan dewasa Turki mengenakan kerudung, tak terkecuali Nyonya Erdogan dan Nyonya Abdullah Gur, militer merasa perkembangan ini suatu ancaman yang harus dipatahkan.
Ya, inilah Turki yang seolah bergerak melawan arus perkembangan dunia dewasa ini. Sebuah negeri dengan angkatan bersenjata yang sangat paternalistis dan lebih mencintai sekularisme ketimbang demokrasi. Juga dengan partai Islam yang merasa perlu mengesampingkan politik identitas, dan lebih peka terhadap kepentingan orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo