SIAPA pun tentu sepakat bahwa bila pemerintah Indonesia membuat utang baru, pada saat yang sama sudah harus dipikirkan bagaimana kelak melunasi utang tersebut. Pola berutang Orde Baru yang sangat tidak hati-hati?baik dalam pemakaian maupun pengelolaannya?sudah lewat. Pola "besar pasak dari tiang" sudah tidak zamannya lagi. Para pemikir ekonomi, di antaranya Kwik Kian Gie, bahkan mengingatkan agar mulai sekarang kebiasaan berutang itu sudah harus dihentikan.
Tapi delegasi Indonesia yang ditugasi menyukseskan sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) di Bali, 21-22 Januari ini, tentu lebih realistis dibandingkan dengan Kwik. Mereka sangat menyadari bahwa tanpa pinjaman dari CGI, defisit APBN 2003 pastilah kian membengkak. Jadi, kebiasaan gali lubang tutup lubang akan diteruskan, hanya kali ini lubangnya lebih kecil. Bandingkan pinjaman CGI pada tahun 2000 yang US$ 4,73 miliar, pada 2001 menurun jadi US$ 3,14 miliar, dan tahun 2003 diperkirakan hanya US$ 2,6 miliar.
Bahwa utang Indonesia semakin kecil, ini berita bagus. Tapi, untuk sepenuhnya tidak berutang, rupanya pemerintah belum siap. Semangat untuk lepas dari lilitan utang jelas ada dan menguat, namun diperlukan rencana dan komitmen?dua hal yang berkali-kali digagas, tapi hilang-hilang timbul. Sekarang ini pun Indonesia masih menyusun rencana yang komprehensif mengenai pengembalian utang, sedangkan pihak Dana Moneter Internasional (IMF) tengah menunggu kepastian, kapan kontrak kerja sama Indonesia dengan lembaga itu bisa dipastikan akan berakhir.
Seperti diketahui, pada Oktober 2002, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menyatakan bahwa kontrak dengan IMF selesai November 2003 dan tidak akan diperpanjang. Tapi pekan lalu Dorodjatun juga yang mengungkapkan bahwa Indonesia baru akan lepas dan lulus dari IMF pada 2004. Ini berarti kontrak dengan IMF akan diperpanjang satu tahun lagi. Kalau benar, mereka yang anti-IMF akan merapatkan barisan. Di mata mereka, kontrak dengan IMF itu merupakan kebijakan yang mesti dibayar mahal. Resep pemulihan ekonominya membuat Indonesia semakin terpuruk, rakyat yang miskin tetap miskin, dukungan IMF untuk Indonesia pun ternyata tidak menjamin arus balik investor asing ke negeri ini. Singkat cerita, IMF harus pergi.
Bagaimana sikap pemerintah tentang kontrak dengan IMF, masih tanda tanya. Keputusan apa pun yang diambil sebaiknya didasarkan pada kalkulasi yang matang, termasuk memperhitungkan antipati masyarakat terhadap lembaga itu. Bila kontrak diakhiri tahun ini, pemerintah masih harus mencicil US$ 10 miliar kepada IMF, sementara US$ 3 miliar sudah dilunasi. Selain itu, cadangan devisa akan terkena dampaknya, walaupun tidak besar.
Yang krusial adalah nasib penjadwalan (baca: penundaan pelunasan) utang Indonesia dengan negara anggota Paris Club. Penjadwalan itu diperkirakan akan terganggu kalau kontrak dengan IMF berakhir. Mungkin karena itu pula Dorodjatun menyatakan bahwa kontrak dengan IMF akan diperpanjang sampai 2004. Kuncinya memang ada pada IMF, karena bagi Paris Club, IMF merupakan payung sakti yang mampu "mengamankan" pengembalian piutang mereka pada Indonesia dan banyak negara dunia ketiga lainnya.
Jelaslah, posisi Indonesia terjepit, gara-gara utang Orde Baru yang berjibun dan dulu tak pernah dengan serius dipikirkan bagaimana pelunasannya. Pelajaran sangat pahit ini membuat pemerintah tidak boleh gegabah dalam membuat utang-utang baru. Pelajaran lain yang juga penting adalah agar pemerintah menghormati hak rakyat untuk mengetahui segala sesuatu tentang utang?termasuk kebocorannya?karena mereka jualah yang secara kolektif harus menanggungnya. Juga adalah sangat etis bila kebijakan pembayaran utang dipermaklumkan secara transparan kepada rakyat, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang ujung-ujungnya bisa memancing konflik yang tidak perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini