Ketika Emha Ainun Nadjib terkena Cekal dan diharamkan berbicara di depan forum Jawa Tengah, budayawan Yogya itu adem ayem saja. Toh, tawaran berseminar tetap deras mengalir. Mungkin status Cekalnya yang membuat Sang Ontoseno itu semakin diminati alias populer. Begitu juga terhadap lagu dangdut "Jagung Bakar" dan "Gadis atau Janda". Terbukti dengan ungkapan produser J.B. Dermawan bahwa kasetnya laku keras setelah larangan tersebut (TEMPO, 22 Februari 1992, Musik). Terlepas dari tedensi negatif, dalam diam saya bersyukur atas tindakan TVRI mencegah penayangan kedua lagu tersebut. Saya memang bukan penikmat setia musik dangdut, tapi anak-anak SD yang sering lewat di samping kamar kontrakan saya selalu meneriakannya setiap mereka pulang sekolah. Syair-syair yang mereka teriakan sungguh membuat hati terperangah. Cukupkah hanya TVRI yang bertindak? Sayang sekali, pencipta dan produser sedikit pun tak tersentil hatinya. Mereka dengan getol terus memproduksi, dan rupiah pun deras mengucur ke kocek mereka. Tapi, bagaimana tanggung jawab moral terhadap generasi penerus bangsa itu? Apakah harus disumbat telinga dan mata bening mereka? Meskipun kreativitas bersifat pribadi, subyektif, dan personal, tapi karya yang baik paling tidak mampu membuat penikmatnya bertambah pandai dan selangkah lebih maju (Budi Dharma Sejumlah Esei Sastra). Berangkat dari pemahaman karya yang baik itu, pencipta lagu dangdut mungkin perlu melongok lebih jauh ke dalam nuraninya. Tidakkah lebih bijaksana bila pencipta membuat lagu yang syairnya sedikit "beradab", sejuk, mendidik, syukur-syukur puitis, dan mempunyai misi menguak budaya bangsa yang andal dan adiluhung. DANARTI W. YAHYONO Fakultas Ekonomi D3 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 55281
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini