Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buntut subversif insiden Dili

Para pemuda anti-integrasi mulai diadili. di jakarta fernando de araujo dan joao de freitas camara dituduh terlibat dalam jaringan organisasi bawah tanah. di dili 2 terdakwa dituduh sebagai perencana.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH diramaikan oleh berbagai tindakan yang diambil Pemerintah terhadap sejumlah perwira ABRI, insiden Dili 12 November memasuki babak lain. Mulai Senin pekan ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengadili dua perkara pidana subversif dan tiga kasus pidana ketertiban umum. Para terdakwa adalah pemuda-pemuda yang terlibat dalam aksi demonstrasi antiintegrasi di Jakarta, November tahun silam, atau beberapa hari setelah meletusnya peristiwa Dili. Selain itu, di Dili, pengadilan setempat menyidangkan perkara subversif juga. Yang menjadi tertuduh adalah sejumlah pemuda yang terlibat dalam demonstrasi 12 November yang kemudian disebut sebagai peristiwa Dili atau tragedi Santa Cruz itu. Dalam sidang yang digelar secara maraton di Jakarta, Fernando de Araujo alias La Sama dan Joao de Freitas Camara dituduh jaksa terlibat dalam jaringan organisasi bawah tanah Clandestine. Fernando, 26 tahun, adalah ketua umum Renetil (Perlawanan Nasional Mahasiswa/Pelajar Timor Timur) yang berpusat di Denpasar. Sedangkan Joao, 36 tahun, adalah ketua Renetil cabang Jakarta. "Saya ini orang Portugal," kata Joao di persidangan. Kedua terdakwa itu dituduh mempunyai hubungan dengan pimpinan CRNM (Badan Perlawanan Nasional Rakyat Maubere) Xanana Gusmao, yang kini disebut-sebut masih bergerilya di pedalaman Timor Timur, serta pimpinan Fretilin di Australia, Jose Ramos Horta, sejak 1986. Mereka mulai menggalang aksinya ketika ada kabar bahwa pada 4 November 1991, delegasi Parlemen Portugal akan mengunjungi Tim-Tim. Fernando, yang mahasiswa Universitas Udayana Denpasar, menyiapkan aksi yang bersandi "Aurora". Aksi itu berupa rencana demonstrasi besar-besaran di Dili, Jakarta, maupun Canberra. Poster dan spanduk yang bernada mendiskreditkan pemerintah RI dan integrasi mereka siapkan. Begitu pula bendera Fretilin, Falentil (angkatan bersenjata Fretilin), dan gambar Xanana Gusmao. Ternyata, parlemen Portugal urung berkunjung. Maka, rencana itu -- menurut tuduhan tadi -- mereka undurkan sampai 12 November, bertepatan dengan kedatangan Profesor Kooijmans, dari Komite Hak Asasi PBB, di Dili. Pada hari itu ada pula misa Sebastiao Gomes yang meninggal dalam kerusuhan antarpemuda pada akhir Oktober. Akhirnya, terjadilah demonstrasi yang berekor dengan insiden Dili itu. Kelompok Fernando menyambung aksi tadi dengan demonstrasi di depan kantor Perwakilan PBB, di Jakarta, 19 November 1991, tapi dibubarkan aparat keamanan. Akibatnya, 69 demonstran ditahan. Belakangan, sebagian besar pemuda itu dibebaskan, setelah meneken surat pernyataan, mengakui integrasi Tim-Tim, minta maaf kepada Presiden RI, dan berjanji tak ikut demonstrasi lagi. Lima orang di antaranya, yang rupanya dianggap paling berperan dalam kegiatan ini, diajukan ke depan hakim. Beberapa hari sebelum pengadilan di Jakarta itu, Fransisco Miranda Branco dan Gregorio da Chuncha Saldana, dua di antara enam terdakwa yang dituduh merencanakan demonstrasi 12 November, diajukan ke depan pengadilan di Dili. Menurut jaksa, Fransisco, yang sehari-hari pegawai negeri itu, adalah ketua seksi dokumentasi dan analisa komite eksekutif (CE) di bawah CRNM pimpinan Xanana. Sedang Gregorio adalah ketua seksi agitasi, propaganda, dan pemuda CE. Apa yang terjadi di depan pengadilan menarik perhatian, bahkan mungkin dalam skala internasional. Misalnya, dalam sidang hari pertama Fransisco, Kamis pekan lalu, sudah muncul soal yang menyangkut hak para terdakwa. Rupanya, melalui istrinya, Fransisco sudah menunjuk pembela dari tim gabungan LBH-Ikadin yang dipimpin Luhut Pangaribuan. Maka, setelah sidang dibuka, Fransisco segera memberi tahu hakim bahwa ia telah menunjuk pengacara. Hakim pun memeriksa kelengkapan administratif para pengacara itu. "Apa sudah memberi tahu Pengadilan Tinggi NTT?" kata Hakim Ketua Pandapotan Sinaga. Luhut sebenarnya sudah membuktikan bahwa mereka telah menyampaikan pemberitahuan yang dimaksudkan hakim. Tapi hakim itu mempersoalkan jangka waktu pemberitahuan yang rupanya masih kurang dari tujuh hari seperti yang disebutkan dalam salah satu surat edaran Mahkamah Agung (SEMA). Lebih parah lagi, hakim tadi memberitahukan tentang suatu hasil tanya jawab antara Ketua Mahkamah Agung dan para ketua pengadilan tinggi dalam sebuah rapat kerja (raker) intern MA, yang menyimpulkan bahwa setiap penasihat hukum dari Jawa yang akan berpraktek di luar Jawa harus lebih dulu minta izin dari ketua pengadilan tinggi tempat ia membela perkara itu. Artinya, Luhut dan kawan-kawannya harus minta izin dari Ketua Pengadilan Tinggi Kupang untuk membela Fransisco itu. Sudah tentu Luhut tak bisa menerima dalih hakim itu. "SEMA itu bukan hukum, melainkan hanya etika yang disarankan untuk kebaikan persidangan," kata Pangaribuan. Soal tim pembela tak minta izin pengadilan tinggi tadi? "Raker itu bukanlah dasar hukum yang siapa saja harus tunduk padanya," kata Pangaribuan. Yang pasti, Luhut merasa kuat secara hukum, sebab ia mengantungi surat kuasa dari istri terdakwa yang menunjuk mereka sebagai pendamping suaminya di pengadilan. Tapi, di depan pengadilan, hakimlah yang punya kuasa. Sinaga segera menetapkan Ponco Atmono sebagai pembela, tanpa perlu menanyakan kesediaan terdakwa. Luhut dan kawan-kawannya terpaksa hanya jadi penonton. Menurut Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata, "Tim pembela itu tak akan ditolak, tapi diberi kesempatan untuk menyelesaikan soal administrasi beracara." Kabar terakhir dari sumber LBH mengatakan, MA akan mengirimkan telegram ke PN Dili, yang isinya membolehkan tim pembela itu beracara pada sidang berikutnya. Syukurlah . . .. Ardian Taufik Gesuri, Susilawati Suryana (Jakarta), dan Rubai Kadir (Dili)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus