Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Indonesia perlahan mulai jadi bagian dari hidup sehari-hari orang Indonesia. Mereka berbicara tentang jatuhnya wibawa lembaga sensor, tentang produsen yang menarik filmnya dari peredaran karena tekanan kelompok ulama. Tentang Virgin, Brownies, dan The Rainmaker, yang baru rampung 12 Desember lalu tapi langsung diluncurkan di JiFFest. Juga Festival Film Indonesia (FFI) 2004, yang malam anugerahnya disiarkan langsung oleh salah satu stasiun TV swasta. Saya dan teman saya, Jajang C. Noer, pemeran utama Eliana Eliana, jauh-jauh hari sudah berkontak pesan pendek membicarakan peluang ini dan itu. Kami gembira FFI datang.
Ya, kegiatan yang berhenti pada 1992 itu telah kembali. Menggembirakan, meski firasat buruk sempat muncul. Festival ini diselenggarakan tanpa mencoba menangkap perkembangan cepat yang terjadi di dunia film, tanpa menghitung kecenderungan para sineas dan peminat film kini. Di gedung film, FFI tampak semarak, meski acara yang melibatkan praktisi perfilman hari ini nyaris tak terdengar.
Lihatlah JiFFest 2004, yang meliputi berbagai diskusi, antara lain diskusi yang melibatkan Lee Chang Dong, sutradara ternama Korea, bekas Menteri Kebudayaan. Ada pembicaraan tentang tahap-tahap menata ulang perfilman Korea: dari demonstrasi melepas ratusan ular di bioskop yang hanya memutar film Hollywood, aksi pembotakan kepala oleh pembuat film, hingga sistem kuota. Diskusi JiFFest melibatkan para pelaku film Indonesia mutakhir, mulai Garin Nugroho, Mira Lesmana, hingga sutradara bawah tanah Arya Kusumadewa. Tapi FFI?
Kita disuguhi acara lomba mirip artis, lomba acting dengan juri yang ala AFI, lomba acting anak-anak, panggung band, walahh . Satu-satunya acara diskusi yang saya tahu dan kunjungi tentang teknologi perfilman hari ini adalah yang diselenggarakan oleh asosiasi pengusaha laboratorium film. Sayangnya, undangan datang sehari sebelumnya dan jadwal editing film saya tak mungkin saya geser tiba-tiba.
Perayaan besar ini memang punya orientasi berbeda, dan secara historis tradisi memang FFI adalah festival penjurian, dan lampu sorot jadi penting . Tapi saya pikir kita sudah hidup di era baru: apa susahnya berpikir atau berimprovisasi sedikit untuk memperkaya pemahaman kita semua tentang peta persoalan perfilman hari ini?
Dan tibalah malam pengumuman nominasi. Acara disiarkan satu stasiun televisi swasta, dan saya mulai menebak arah angin, tepatnya arah lampu sorot. Saya tergelak hingga sakit perut membaca dress code yang meminta kami para pembuat film memakai pakaian glamor. Dan inilah satu situasi klasik yang kita harus mafhum jika kekuatan kapital televisi mulai bicaradalam standar yang bodoh, membosankan, dan diulang-ulang. Saya pikir tidak mungkin saya datang, saya tidak punya pakaian glamor, dan mungkin memang saya tidak terlalu diharapkan datang.
Tapi marilah berpikir positif. Ada dua stempel besar dalam undangan: Badan Pertimbangan Perfilman Nasional dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Inilah legitimasi paling jelas bahwa pemerintah punya peran dalam dunia perfilman. Dan mungkin, seperti diungkapkan Lee Chang Dong, pemerintah ingin punya peran aktif. Menteri Jero Wacik jelas mengatakan itu dalam buku pembukaan FFI. Sebuah kehumasan seratus hari yang efektif. Namun, apakah awal yang gemerlap ini bisa kita jadikan jaminan seriusnya pemerintah memikirkan perfilman Indonesia secara lebih struktural dan berjangka panjang? Semoga dan mari kita menunggu.
Dalam aspek penjurian juga ada hal bagus. Sulit sedetail Academy Awards, misalnya, tapi FFI telah dengan jelas membuat kriteria nominasi semua aspek teknis yang utama. Panitia dengan hati-hati memilih juri, terdiri dari pengamat atau kritikus film, tokoh masyarakat seperti psikolog dan sosiolog, hingga praktisi. Praktisi film adalah kelompok terkecil juri, entah apa alasannya.
Tiga hari setelah penyelenggaraan, sebuah faksimile masuk ke kantor saya, menjelaskan kenapa satu aspek dalam film mendapatkan Piala Citra. Skenario film Eliana Eliana menang "untuk kejelasan gagasan visual dalam suatu pengkisahan yang cerdas dan memikat". Sebuah komunikasi sederhana dan ditandatangani tujuh anggota juri film cerita.
Inilah malam penganugerahan Piala Citra, penghargaan tertinggi masyarakat perfilman untuk para pekerja film Indonesia. Kita berjalan di atas karpet merah terpanjang yang pernah saya lihat. Malam itu saya atau teman-teman saya akan diganjar Piala Citra, persis waktu kami masih kecil melihat sineas sekelas Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau Syumanjaya dengan bangga mengangkatnya. Wah, bila ayah saya masih hidup, pasti ia sangat berbangga.
Kembali ke firasat buruk, dan semua menjadi nyata. Malam itu kami menerima piala terhormat itu di bagian panggung yang gelap. Tak ada waktu untuk mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang mendukung film yang kami produksi. Dan kami harus buru-buru naik dan turun panggung redup itu karena jeda iklan televisi akan selesai ditayangkan. Apa-apaan ini, bukankah ini perayaan lahirnya kembali film Indonesia? Untuk pekerja atau orang-orang yang kita sebut insan film Indonesia? Kemarahan saya memuncak ketika seorang produser televisi yang biasa menyebut dirinya sang pelopor kemudian naik panggung. Ia mendapat podium terang dengan mikrofon, menerima penghargaan film televisi terbaik. Sementara itu, saya sebagai penulis skenario film terbaik, Ipung sebagai penata sinematografi terbaik, Dewi S. Alibasa sebagai penyunting gambar terbaik, serta Suhadi, Adityawan, dan Satrio Budyono sebagai penata suara terbaik menerima Piala Citra yang melegenda di panggung redup.
Huh , ini adalah malam pembuktian bahwa film telah direbut oleh kebodohan televisi .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo