Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo mesti melihat secara cermat soal impor senjata polisi. Pengadaan ratusan pelontar granat untuk Korps Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian RI itu telah menimbulkan gesekan keras. Tak cukup meredam friksi, Presiden perlu menyentuh masalah koordinasi dan transparansi impor senjata.
Friksi sulit ditutupi lantaran pengungkit pertama sinyalemen pesanan senjata api "ilegal" adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo. Isu ini berujung pada fakta: impor 280 pucuk pelontar granat serta 5.932 butir amunisi dari Bulgaria. Pesanan untuk Brimob ini ditahan di area kargo Bandar Udara Soekarno-Hatta, akhir September lalu, karena belum mendapat izin dari Badan Intelijen Strategis-lembaga penting di bawah Markas Besar TNI.
Heboh impor senjata itu bisa dibaca sebagai manuver politik Gatot, yang akan pensiun pada Maret tahun depan. Tak sepantasnya ia melempar urusan internal kabinet ke publik. Sebelumnya, Gatot juga kerap berbicara soal politik, dan terlihat merapat dengan kelompok Islam. Jenderal berbintang empat ini pernah muncul di kerumunan demonstrasi 212 akhir tahun lalu dengan memakai peci putih-isyarat yang bisa dibaca sebagai dukungannya kepada demonstran. Saat itu, polisi menuduh ada upaya makar di balik unjuk rasa.
Sikap Presiden sudah pas dalam menanggapi masalah impor senjata itu. Jokowi memberikan pernyataan tegas dalam sidang kabinet pekan lalu. Sebagai Panglima Tertinggi TNI, Presiden minta tidak ada kegaduhan. Dalam peringatan Hari Ulang Tahun TNI ke-72, ia juga menyerukan agar TNI tidak masuk politik praktis. Pernyataan Presiden ini merupakan peringatan keras bagi Panglima TNI.
Hanya, Jokowi harus segera pula membenahi soal koordinasi pengadaan senjata. Apalagi urusan ini telah diatur gamblang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Semua pengadaan senjata api harus seizin Kementerian Pertahanan. Presiden seharusnya tahu betul masalah ini karena ia juga menjadi Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Impor senjata juga harus mendapat persetujuan Komite.
Prosedur impor senjata telah diatur pula lebih rinci dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 7 Tahun 2010. Selain memperoleh persetujuan Menteri Pertahanan, impor senjata api harus mendapat rekomendasi dari Mabes TNI. Dalam kasus impor pelontar granat Brimob, rekomendasi inilah yang tak dipenuhi. Ternyata Kepolisian RI belum mendapat rekomendasi impor senjata standar militer itu kendati sudah mengajukan surat ke Badan Intelijen Strategis TNI pada 19 September lalu. Tersendatnya urusan ini jelas menunjukkan buruknya koordinasi di level petinggi.
Presiden perlu mendorong agar lelang pengadaan senjata dilakukan secara transparan. Harus dipastikan ada persaingan yang fair dan proses terbuka dalam tender. Dalih yang selama ini dipakai bahwa urusan senjata termasuk rahasia negara amat mengada-ada. Sesuai dengan undang-undang, yang bersifat rahasia adalah formula rancang bangun peralatan pertahanan, bukan impor senjata.
Tender pelontar granat Brimob janggal karena berlangsung supercepat. Di situs lelang Polri disebutkan tender pengadaan senjata itu menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2017 senilai Rp 26,94 miliar. Sederet perusahaan ikut lelang, tapi hanya PT Mustika Dutamas yang disebutkan nilai penawarannya. Perusahaan ini pula yang diumumkan sebagai pemenang pada 15 September lalu. Masa penandatanganan kontrak disebutkan pada 26 September-9 Oktober 2017. Anehnya, akhir September, barang impor sudah berada di bandara.
Impor senjata seharusnya pula dilakukan secara selektif karena Undang-Undang Industri Pertahanan mewajibkan instansi pengguna senjata api memprioritaskan produksi dalam negeri. PT Pindad sebetulnya juga memproduksi pelontar granat walau jenisnya berbeda. Kalaupun Pindad kewalahan memenuhi jumlah pesanan, pengadaan bisa dilakukan secara bertahap. Anggaran pun bisa dihemat.
Anggaran negara buat gaji personel serta peralatan TNI dan Polri selama ini cukup besar. Anggaran untuk Kementerian Pertahanan dan Kepolisian RI selalu berada di urutan tiga besar, hanya kalah dibanding anggaran Kementerian Pekerjaan Umum, yang sebagian besar untuk pembangunan infrastruktur. Anggaran Polri bahkan naik cukup besar selama era Jokowi, dari Rp 44 triliun pada 2014 menjadi Rp 84 triliun pada 2017.
Presiden harus memastikan anggaran TNI dan Polri digunakan secara efisien. Jangan sampai duit rakyat itu malah jadi bancakan makelar senjata dan sumber friksi para petinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo