Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Lawan Jadi Musuh

Lawan sering disebut sebagai musuh. telah dilakukan dengan antagonisme total seperti: yang menjadi lawan iran dianggap memusuhi islam, menentang pemerintah dianggap anti pancasila. lawan suatu saat jadi musuh.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA musuh, ada lawan. Kedua kata itu berbeda. Hanya kita sering melupakannya. Marilah kita bermula pada kamus. Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta (diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sepintas menyebut lawan sebagai sinonim musuh. Tapi tak seluruhnya. Kita misalnya tidak bisa mengatakan musuh kata", melainkan lawan kata". Kita juga misalnya tidak bisa mengatakan, "Siapakah musuhmu bercakap-cakap tadi?", melainkan "Siapakah lawanmu bercakap-cakap tadi?" Dengan kata lain: dalam pengertian lawan tidak ada antagonisme yang total. Kesebelasan Warna Agung tidaklah memusuhi kesebelasan Jayakarta, melainkan melawannya. Yang satu tak bermaksud menegasikan yang lain. Yang satu tidak hendak meniadakan yang lain. Bahkan dalam kata lawan bercakap-cakap yang tersirat adalah peneguhan perlunya kehadiran pihak yang lain. Tapi terkadang si-yang-lain cenderung diperlakukan dengan antagonisme yang total. Kita sering menyebut lawan sebagai musuh, dan kita tak menyadari implikasinya. Bagi agitasi, terutama dalam ideologi totaliter, kekaburan pengertian lawan dengan musuh memang lazim. Dan barangkali disengaja. Dalam perbendaharaan kata revolusi Kambodia yang dipimpin Pol Pot, misalnya, setiap sisa kekuatan Lon Nol adalah musuh, dan karena itu harus dibasmi. Maka di sana beribu-ribu orang pun dibunuh. Baru ketika Pol Pot begitu terdesak, hingga ia menyatakan mau bekerjasama dengan sisa-sisa rezim lama, ia memberikan arti lawan kepada apa yang semula ia nyatakan sebagai musuh. Dalam hubungan ini baik juga kita telaah, sejauh mana kekalutan telah terjadi di tempat lain. Benarkah misalnya pemerintahan Khomeini di Iran merupakan musuh Amerika Serikat? Para diplomat, seperti Cyrus Vance, cenderung mengatakan bukan. Mereka yang di Qom dan Teheran itu adalah lawau Amerika Serikat. Dengan demikian selalu terbuka kemungkinan untuk hubungan baik kembali. Tapi para diplomat, yang terlatih sabar, memang jarang laku di masa kampanye pemilu. Sebaliknya benarkah pemerintahan. Carter dan Amerika merupakan musuh Iran? Ayatullah Khomeini konon menyebut Amerika Serikat dan Carternya sebagai "setan"? yang tentu saja "memusuhi Islam" -- seperti jNga Ayatullah Khomeini menyebut Iraq "memusuhi Islam". Dan bila apa saja yang sedang adl lawan Iran dianggap "memusuhi klam' jelaslah antagonisme itu telah diikm total -- sama halnya bila setiap suara yang menentang pemerintah dianggap "anti-Pancasila". Artinya ada keharusan melenyapkan si-yang-lain. Setidaknya itulah seruan dalam revolusi -- yang memang sering berlebihan. Untunglah sejarah mengajarkan, bahwa apa yang dikatakan di masa panas tak harus terus menerus berlaku di masa sejuk. Contoh baik ialah yang terjadi di Zimbabwe. Tatkala Mugabe memimpin gerilya, pekik peperangan seakan hendak membetot orang-orang bule dari bumi Rhodesia. Tapi setelah kemenangan lewat pemilu ternyata Mugabe tidak menidakkan orang putih. Bahkan ia mempertahankan Letnan Jenderal Peter Walls, perwira kulit putih yang dulu memimpin pasukan keamanan mengejar-ngejar kaum gerilya. Kisah Zimbabwe tentu saja kisah indah yang jarang terjadi, tentang kebesaran manusia mengatasi kebencian untuk bisa berbaik kembali dengan siyang-lain. Kisah itu juga suatu cerita tentang perkembangan dialektis dari pengertian lawan dan musuh. Suatu ketika yang lawan bisa menjadi musuh tapi dalam hubungan permusuhan itu tetap ada hubungan perlawanan. Dan setelah lawan jadi musuh, musuh pun kembali jadi lawan -- lawan dalam pengertian seperti yang terdapat dalam bahasa kita: peneguhan, bukan peniadaan, kehadiran pihak yang lain itu. Karena itulah ada hubungan diplomatik. Karena itulah ada Olympiade. Karena itulah ada Parlemen. Karena itulah ada PBB. Tiap-tiap fungsi mungkin tak selamanya efektif. Tapi hidup bersama perlu jembatan-jembatan yang tak terbakar karena kita tak bisa hidup sendirian lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus