Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Liberalisasi Impor Pangan dalam Omnibus Law

Di tengah wabah Covid-19, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat masih berkukuh membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial.

1 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
tempo/imam yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah wabah Covid-19, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat masih berkukuh membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial. Aturan berbentuk omnibus law itu akan mengubah regulasi di bidang pangan, terutama perizinan berusaha dan sanksi. Ada dua undang-undang yang menjadi sasaran: Undang-Undang Pangan serta Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika dikelompokkan, ada tiga perubahan penting yang hendak digapai lewat Undang-Undang Cipta Kerja. Pertama, mempertegas kewenangan pemerintah pusat dan/atau menarik sejumlah urusan pangan ke pemerintah pusat. Ada kecenderungan rezim perizinan ditarik ke pusat. Hal tersebut mencakup keamanan pangan, bahan tambahan pangan, pangan produk rekayasa genetika, iradiasi pangan, serta standar keamanan pangan dan mutu pangan segar yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Pangan. Pengaturan keamanan pangan serta penerapan standar keamanan pangan dan mutu pangan segar dihapuskan. Urusan perizinan usaha yang semula abu-abu ditarik ke pusat.

Kedua, dalam penyelesaian perkara, omnibus law ini lebih memprioritaskan sanksi administratif. Pada Undang-Undang Pangan, sanksi pidana atau denda merupakan alternatif dengan pidana lebih dulu baru kemudian denda. Kedua sanksi diatur dalam pasal yang sama, tanpa pemisahan ayat. Dalam omnibus law, kedua sanksi dipisah dalam ayat berbeda dengan sanksi administratif sebagai prioritas. Sanksi pidana baru berlaku apabila sanksi administratif tidak diindahkan oleh pelaku. Ini berlaku dalam hal penimbunan, perdagangan pangan olahan, sanitasi pangan, dan izin usaha yang berkaitan dengan pangan olahan. Bahkan sanksi bagi yang mengimpor saat pangan cukup juga dihapuskan.

Ketiga, perubahan paling penting adalah menempatkan impor pangan sebagai prioritas utama. Dalam Undang-Undang Pangan, ketersediaan pangan dimaknai sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, impor pangan ditempatkan setara atau sejajar dengan produksi dalam negeri dan cadangan pangan. Perubahan ini kemudian diturunkan dalam pasal-pasal operasional terkait dengan tata kelola impor pangan.

Selain itu, omnnibus law menghilangkan impor pangan sebagai jalan terakhir untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Hal ini bisa dilihat dari hilangnya klausul “pemerintah mengutamakan produksi pangan dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan” dan ditiadakannya pengaturan waktu impor terkait dengan panen. Syarat bahwa impor hanya dapat dilakukan apabila produksi dan/atau cadangan pangan nasional tidak mencukupi atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri juga lenyap. Terakhir, keharusan pemerintah menetapkan kebijakan impor tak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil diubah hanya menjadi untuk keberlanjutan usaha tani.

Orientasi baru ini dengan sendirinya mengubah paradigma pemerintah mengenai impor pangan dalam pemenuhan pangan dalam negeri. Jika semula sebagai pelengkap, impor pangan kini menempati posisi amat penting. Impor (juga ekspor) pangan merupakan kegiatan ekonomi yang lumrah. Impor pangan menjadi krusial karena berkaitan dengan produk pertanian domestik. Masalah muncul karena impor terjadi tidak selalu karena ada kebutuhan.

Impor juga menjadi krusial karena dilakukan tanpa menimbang nasib petani domestik. Impor sering dikaitkan dengan daya saing. Padahal daya saing tak berdiri sendiri, melainkan hasil resultante kebijakan domestik dan negara lain. Implikasinya, kita tidak bisa melihat persoalan daya saing produk pertanian domestik tanpa memeriksa kebijakan negara lain. Ditilik dari keharusan menjamin hak hidup petani, impor menjadi hal fundamental. Menurut konstitusi, warga negara dijamin untuk memperoleh pekerjaan layak sesuai dengan kemanusiaan, dan fakir miskin dipelihara negara. Artinya, negara wajib melindungi hak hidup petani. Karena itu, kebijakan apa pun, termasuk impor, tak boleh mensubordinasi hak hidup petani.

Lebih dari itu, melakukan impor pangan dari luar negeri meskipun harganya lebih murah atau membeli produk petani domestik yang akan menimbulkan dampak sosial berbeda. Impor pangan akan menimbulkan efek berantai di luar negeri. Sebaliknya, jika membeli pangan domestik, meskipun lebih mahal, akan menciptakan efek berantai di dalam negeri. Efek berantai itu berbentuk konsumsi, pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial. Jadi, apabila hak hidup petani menjadi dasar dalam melihat impor, yang sebenarnya dibangun bukan hanya ketergantungan pangan, tapi juga penciptaan lapangan kerja dan usaha bagi sebagian besar petani, mayoritas warga di negeri ini. Ironisnya, lapangan kerja dan usaha itu kini terancam oleh Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus