Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdallah
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Generasi milenial sekarang tengah diserbu berbagai literatur islamis. Buku-buku ini mengusung ideologi Islamis, yang berpusat pada totalitas penerapan Islam di seluruh aspek kehidupan dan bermuara pada penggantian sistem negara demokratis dengan khilafah, jika perlu lewat kekerasan. Buku-buku semacam ini hadir mencolok, membanjiri lanskap sosial di sekitar sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah gambaran umum dari "Literatur Keislaman Generasi Milenial", penelitian yang dilakukan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2017. Penelitian ini dilakukan terhadap sejumlah siswa sekolah menengah atas dan mahasiswa perguruan tinggi negeri di 16 kota, seperti Padang, Bandung, Solo, dan Pontianak. Hasilnya didiskusikan pada pekan lalu di Jakarta.
Studi ini meneliti lima kategori literatur Islamis, yakni literatur jihadis, tahriri, salafi, tarbawi, dan Islamisme populer. Literatur yang beredar di Solo, dengan sayap juang sejumlah penerbit seperti Jazera, Arafah, Aqwam, dan Gazza Media, berhasil menyebarluaskan literatur jihadis. Literatur jenis ini menggambarkan dunia sedang dalam situasi perang menyeluruh karena diabaikannya kedaulatan mutlak Ilahi dan, karena itu, menekankan keharusan bagi umat Islam mengobarkan jihad. Buku jihadi yang laku dan mengemuka antara lain Tarbiyah Jihadiyah karya Abdullah Azzam dan Jihad Jalan Kami karya Abdul Baqi Ramdhun.
Yang menarik untuk diperhatikan, gerakan jihadi ini bermuara pada Pesantren Ngruki di Solo, yang acap dikaitkan dengan kelompok terorisme. Tak berhenti di Solo, literatur jihadis bergerak secara masif melalui penerbit Al-Qomar Media (Yogyakarta), Pustaka Ibn Umar (Bogor), Darul Haq (Jakarta), dan Pustaka Imam Syafi’i (Bekasi).
Di Solo juga terdapat penerbit Era Adicitra yang berfokus memperluas literatur tarbawi. Tarbawi adalah wadah untuk menguatkan ide-ide Ikhwan al-Muslimin, gerakan Islam berbasis di Mesir. Pertumbuhan ini sejalan dengan adanya transformasi gerakan Tarbiyah dari kampus-kampus ke partai politik, yakni Partai Keadilan Sejahtra, pada era 1990-an. Buku yang beredar di publik, terutama di kalangan pelajar, adalah karya Hasan Al-Bana dan Sayyid Qutb. Pada masa kini, literatur tarbawi bermetamorfosis menjadi karya-karya populer, seperti karya Salim Fillah, Salam Cinta Para Pejuang.
Tak kalah menarik adalah literatur tahriri-yang gigih memperjuangkan paham khilafah yang digagas Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri hizbut Tahrir, partai politik Islam di Libanon. Literatur yang tampak diminati para pelajar adalah karya Felix J. Siauw, Beyond The Inspiration. Literatur salafi, yang menawarkan ajaran Islam murni sesuai dengan syariat pada masa Nabi Muhammad, juga laku di pasaran dengan segmen pembaca yang lebih luas, terutama kalangan muda. Buku salafi itu antara lain karya Aidh Al-Qarni, La Tahzan, terbitan Qisthi Press.
Literatur yang paling diminati kalangan muda dengan sasaran yang lebih luas dan sajian bahasa yang populer adalah literatur Islamisme populer. Beberapa contoh yang masuk dalam kategori ini adalah 99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak Jalan Islam Eropa karya Hanum Salsabiela Rais, Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman Asysyairazi, dan Negeri 5 Menara karya A. Fuadi.
Suka tidak suka, buku-buku itulah yang dibaca dan diminati kalangan muda masa kini, bukan karya tokoh yang menyuarakan Islam moderat, seperti Quraish Shihab, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdurrahman Wahid, dan Nurcholish Madjid. Fakta ini menggambarkan realitas keberagamaan masyarakat Indonesia masa kini yang memprihatinkan tapi sekaligus keniscayaan karena ini adalah hukum pasar, yang mau tidak mau kita harus bersaing.
Instrumen satu-satunya untuk mengimbangi penyebaran literatur islami ini adalah melakukan balasan atau memberi alternatif literatur keagamaan lain. Kita harus mendorong Kementerian Agama, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, agar menyeleksi secara ketat buku-buku agama yang beredar di sekolah agar tidak disusupi paham radikal.
Pemerintah juga harus bekerja sama dengan kaum akademikus untuk merumuskan buku pengayaan keagamaan yang memadai, yang memuat ajaran agama inklusif, toleran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pendidikan agama tidak bisa diabaikan. Ia harus dipertahankan dan dibenahi sebagai pilar kebangsaan yang menyokong keutuhan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan agama semestinya apa yang dibayangkan Bung Karno, bahwa bertuhan secara kebudayaan dengan tiada egoisme agama, terciptanya saling menghargai satu sama lain, dan berkeadaban (Herbert Feith, 1988).