HAKIM, menurut Bismar Siregar, adalah kependekan dari "hubungi aku kalau ingin menang". Pensiunan hakim agung yang kini rajin berdakwah itu memang mengucapkannya dengan nada canda, tapi tak seluruhnya tanpa dasar. Bukan rahasia lagi bahwa di kalangan orang ramai, citra para pemegang palu keadilan itu sudah demikian terpuruk, bukan lagi sebagai penjaga tegaknya hukum, melainkan penjual keputusan hukum.
Citra ini tentu tak muncul begitu saja. Dominasi kekuasaan presiden pada era Orde Baru telah membuat peradilan menjadi bagian dari alat kekuasaan dan bukan pelaksanaan supremasi hukum. Akibatnya, berbagai kasus pengadilan sesat seperti perkara pembunuhan Marsinah muncul ke permukaan dan menjadi bagian dari keseharian. Hakim yang digaji kecil dan berada dalam lingkungan rezim yang represif dan sekaligus mendewakan pertumbuhan ekonomi akhirnya menghadapi godaan pragmatisme. Kolusi ketika berhadapan dengan kekuasaan, dan korupsi saat bersinggungan dengan mereka yang beruang.
Mereka yang berani dan masih idealis pun semakin tersingkir, terisolasi, dan terancam jatuh ke jebakan frustrasi. Mereka tidak hanya harus hidup teramat sederhana sambil menjaga wibawa di kala ukuran sukses seseorang semakin dilihat dari kemewahan rumah dan mobilnya, melainkan juga menghadapi kenyataan bahwa putusannya yang dilahirkan dengan susah payah akan dinafikan di pengadilan yang lebih tinggi oleh kekuatan uang dan kekuasaan. Maklum, kanker jual-beli hukum sudah menjalar hingga ke berbagai penjuru sistem peradilan, bahkan hingga ke Mahkamah Agung.
Tapi, itu seharusnya hanya merupakan cerita masa lalu. Sekarang sudah zaman reformasi, Bung! Mereka yang dulu berkuasa kini telah tumbang dan mereka yang dulu bergelimang uang kini terjerat gunungan utang. Lantas, bukankah sistem peradilan nasional pun seharusnya sudah berubah?
Sayangnya kita masih harus menjawab "belum". Bukan hanya personelnya yang masih sama dengan masa lalu, melainkan juga perilakunya. Cobalah simak apa yang dilakukan Mahkamah Agung dalam menyikapi keinginan masyarakat banyak untuk mengisi lowongan jabatan sejumlah hakim agung di institusi ini dengan tokoh-tokoh yang dikenal berani dan relatif bersih. Bukannya berterima kasih dan buru-buru menyapu para hakim agung bermasalah yang masih ada, MA malah menolaknya keras-keras dan hanya mengajukan kandidat yang berasal dari dalam. Sepertinya, mereka menganggap aspirasi itu hanyalah gonggongan anjing belaka, yang tak perlu dipedulikan oleh kafilah para hakim yang seharusnya terhormat itu.
Keadaan ini tentu memprihatinkan, bahkan bisa membuat frustrasi. Tak kurang dari Daniel Lev, guru besar Universitas Washington di Amerika Serikat, menyarankan agar sebaiknya semua hakim agung di Mahkamah Agung itu dipensiun-dinikan dan diganti oleh orang-orang baru. Pakar yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam mengamati kegiatan komunitas hukum Indonesia itu khawatir, tanpa tindakan drastis seperti ini, upaya penegakan supremasi hukum di Indonesia akan menghadapi kegagalan.
Daniel Lev mungkin—dan moga-moga—berlebihan. Pengalaman menunjukkan, kinerja institusi di Indonesia biasanya sangat dipengaruhi oleh integritas dan kemampuan pimpinan utamanya. Dalam hal ini ada peluang bagus untuk mengobati penyakit kanker di Mahkamah Agung. Ketua MA saat ini, Sarwata, akan memasuki masa pensiun, mulai Agustus mendatang. Artinya, kans untuk mengangkat ketua yang baru yang mempunyai integritas tinggi dan dinilai mampu mereformasi lembaga strategis ini sangat terbuka lebar. Adalah dosa besar bagi kita semua jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Tentu mengangkat ketua baru saja tidaklah cukup. Pemerintah, parlemen, pers, dan masyarakat—terutama para profesional hukum—harus berupaya keras mengisi lembaga yang menjadi terminal terakhir para pencari keadilan ini dengan personel yang mampu, bersih, dan berwibawa. Sorotan perhatian tak hanya dibatasi pada para calon hakim agung, tetapi juga mereka yang saat ini sudah di dalam, bagaimana catatan keputusan mereka di masa silam dan apakah gaya hidupnya sesuai dengan penghasilan mereka yang halal.
Selain itu, perbaikan sistemik pun harus diperhatikan dan dilakukan. Para hakim harus digaji cukup hingga dapat hidup layak sesuai dengan martabatnya. Mahkamah Agung juga tak selayaknya masih mengurus kasus-kasus sepele yang cukup ditangani peradilan di bawahnya, seperti perkara sengketa tanah yang cuma mencuatkan godaan sogok itu. Hanya kasus yang mempunyai nilai perubahan wawasan hukum yang perlu dicermati para hakim agung, termasuk dalam menilai sah atau tidaknya produk hukum yang dikeluarkan pemerintah dan parlemen (judicial review). Sebab, sistem hukum harus selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman tapi tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam konstitusi bangsa.
Sistem pengawasan pengadilan juga harus diperkuat. Sebab, menurut pepatah Belanda, "pencuri ada karena diberi kesempatan". Mahkamah Agung yang kuat dan bersih, kalau mengacu pada pengalaman di negara lain, terbukti menjadi salah satu faktor penting dalam meminimalkan dan mengoreksi adanya peradilan sesat. Ini bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Siapa tahu, lima tahun mendatang, Bismar Siregar akan mengatakan, "hakim" itu kependekan dari "hakim agung kondisikan Indonesia maju". Siapa tahu….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini