Presiden Abdurrahman Wahid pernah menyebut Departemen Agama sebagai "pasar". Sebenarnya, yang lebih tepat disebut pasar adalah Sekretariat Negara. Inilah warisan rezim Orde Baru yang sangat boros dan tidak efisien.
Bayangkan, di kompleks Istana itu pernah berkantor 4.000 pegawai. Setelah dapat "disingkirkan" 1.600 pegawai yang merupakan titipan departemen lain, kini tinggal 2.400 orang. Padahal, secara ideal, lingkungan kompleks Istana ini cukup diisi 500 pegawai saja. Pukul rata, di setiap sekretariat—ada lima sekretariat—cukup ada 100 pegawai.
Pada masa Soeharto berkuasa, Sekretariat Negara sebagai sebuah pasar boleh jadi bukan sekadar arti kiasan. Sebab, hal-hal sepele seperti potret bersalaman dengan Soeharto pun dijual-belikan, dari harga terendah Rp 50 ribu sampai jutaan rupiah: tergantung siapa yang membeli. Soeharto, entah tahu dijadikan "komoditi dagang" atau tidak, selalu menyediakan diri berpose dengan setiap tamu: dari tamu yang terbatas diterima di ruang kerjanya sampai rombongan seminar, raker, kongres, dan lain-lainnya yang dibuka di Istana Negara.
Dan "perdagangan" ini belum seberapa. Setiap proyek yang perlu mendapatkan persetujuan presiden harus melewati hutan rimba Setneg ini. Belum lagi proses pembuatan undang-undang yang selalu harus dinyasar-nyasarkan dulu ke Setneg. Adapun perdagangan kelas kakap menyangkut aset-aset negara yang dikelola Setneg. Banyak yang sudah hilang atau dimiliki lembaga dan perorangan yang lepas dari pengawasan Setneg. Kawasan Gelora Senayan dan Manggala Wanabhakti bisa disebut sebagai contoh.
Kini, pembenahan dilakukan. Bondan Gunawan, Pjs. Sekretaris Negara, menjadi komandan pembenahan itu. Yang perlu disarankan kepada Bondan, pembenahan ini hendaknya bisa berlaku panjang, artinya tidak hanya untuk pemerintahan Gus Dur. Siapa pun yang memerintah negeri ini nantinya, Sekretariat Negara tetap bukan sebuah pasar. Untuk itu, diperlukan sebuah aturan yang baku, sehingga ada pegangan untuk presiden kelima, keenam, dan seterusnya. Kalau aturan itu tak ada, setiap pembenahan menimbulkan gunjingan, presiden membawa orang-orangnya ke Setneg. Biarlah nanti, hanya presiden yang datang dan pergi, "pelayan-pelayan presiden" tak perlu gonta-ganti.
Aturan baku ini juga harus menjawab kegelisahan karyawan Setneg, yaitu apakah para sekretaris presiden yang berjumlah lima orang itu pejabat negara atau pejabat karir. Kalau pejabat negara setingkat menteri, adalah hak presiden untuk mengangkatnya. Kalau pejabat karir, tentu tak sembarang orang bisa menclok di jabatan puncak itu, sehingga setiap karyawan Setneg bisa punya mimpi duduk di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini