Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Riuh di Jalanan, Memalukan di Sidang

Kongres PDI-P di Semarang tetap semarak. Partai ini makin kuat atau makin keropos?

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Soeharto lengser dan Golkar ikut terpuruk, tak ada partai politik yang bisa menandingi ingar-bingarnya PDI Perjuangan. Apalagi jika acara itu bernama kongres. Kongresnya di Bali pada 1998—tatkala belum bernama PDI Pejuangan—dihadiri sekitar satu juta penggembira. Dan memang, partai inilah akhirnya yang meraih suara terbanyak pada Pemilu 1999. Tapi, setelah pemilu, riuh di jalanan tak muncul di ruang sidang. PDI-P tampak sebagai partai yang tak siap menang. Dalam Sidang Umum MPR, wakil-wakil PDI-P kalah taktik dan strategi dengan partai-partai dengan suara kecil. Tak bisa PDI-P merebut kursi ketua MPR, juga ketua DPR. Bahkan jabatan presiden pun lepas, akhirnya Megawati hanya bisa mengantongi suara untuk jabatan wakil presiden—sesuatu yang di luar target Kongres Bali. Ketidaksiapan PDI-P menang kelihatan dari mutu wakil-wakilnya di DPRD serta DPR. Memang, alasan bahwa waktu tak cukup untuk menyiapkan wakil rakyat yang berbobot agaknya bisa juga diterima. Waktu begitu cepat berjalan, semuanya serba mendadak. Soeharto mendadak turun. Pemilu mendadak ditentukan. Dalam serba mendadak ini, rakyat yang bersimpati pada Megawati karena selalu "ditindas" akhirnya tanpa pikir panjang mendukung partai banteng bibir putih ini. Soal mutu, tentu saja penilaian bisa subyektif. Tapi, secara kasat mata, seperti itu adanya. Bukan cuma di arena akbar Sidang Umum MPR, di arena lebih kecil, PDI-P pun banyak kalahnya. Di Jakarta, dengan suara terbanyak, PDI-P gagal mengegolkan calonnya sebagai ketua DPRD. Di Surabaya, calon wali kota dari PDI-P kalah telak, padahal wakilnya juga paling banyak. Banyak kejadian seperti ini, dan terakhir yang paling memalukan tentulah di Medan. Semua anggota DPRD dari Fraksi PDI-P kena suap. Apakah Kongres PDI-P di Semarang pekan ini akan memperbaiki kinerja PDI-P atau justru mengulangi lagu lama, bertumpu pada karisma Megawati? Pertarungan itu yang akan terjadi, dengan perkiraan hasil, karisma Megawati akan tetap dijual dan Mega akan kembali tampil sebagai ketua umum. Tidak berarti ini buruk, tergantung bagaimana Mega mendapatkan pendampingnya. Dan orang-orang di sekitar Mega itu harus melihat bahwa karakter Pemilu 2004 sangat berbeda dengan Pemilu 1999. Pemilu yang akan datang dengan persiapan yang cukup bagi partai peserta pemilu. Rakyat pun juga punya waktu yang panjang untuk menentukan pilihannya. Rasa emosional berpihak pada yang tertindas tak ada lagi—karena memang tak ada partai yang ditindas. Tantangan lain bagi PDI-P, posisi Mega sebagai wakil presiden tentu akan sangat menentukan. Rakyat akan mengukur kepemimpinan Mega dalam kesehariannya sebagai wakil presiden. Kalau ternyata tak ada apa-apanya, sementara Mega sendiri bukan lagi simbol orang yang ditindas penguasa—malahan Mega itulah penguasanya—rakyat tentu berpikir dua kali, masih mendukung PDI-P atau mencoba yang lain. Peserta Kongres Semarang tentu sudah mengantisipasinya, karena kuat atau keroposnya PDI-P di masa depan bergantung pada hasil kongres ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus