Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJAKSAAN Tinggi DKI Jakarta perlu superserius menyidik dugaan korupsi proyek pemetaan dan pendataan untuk penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) 2010-2011. Kasus yang bermula dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan predikat "tidak bisa dipertanggungjawabkan" ini tak dapat dibiarkan menggantung, apalagi menguap.
Kejaksaan wajib memproses tuntas lima orang yang sudah berstatus tersangka, serta mengusut hingga ke tingkat Menteri Muhammad Nuh. Apalagi proyek validasi data penerima BOS dan DAK ini berbau amis sejak perencanaan. Seharusnyalah untuk pendataan yang mencakup wilayah seluruh Indonesia, lembaga yang berkompeten mengerjakannya adalah Badan Pusat Statistik, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Statistik. Namun Kementerian Pendidikan mengubah cakupan proyek dari tingkat nasional menjadi hanya di 17 provinsi, sehingga berpeluang dikerjakan pihak swasta.
Rezeki pun jatuh ke PT Surveyor Indonesia, yang mengajukan penawaran harga lebih mahal dibanding rivalnya, PT Sucofindo. Kerjanya asal-asalan, pertanggungjawaban keuangannya amburadul. BPK menemukan kerugian negara Rp 55 miliar, dan Rp 38 miliar tak bisa ditelusuri pemakaiannya, baik oleh Kementerian maupun Surveyor. Namun, anehnya, Surveyor tetap dipilih Menteri Nuh untuk kelanjutan proyek yang sama pada 2011.
Jika korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, rasuah di Kementerian Pendidikan bisa disebut "kejahatan luar biasa pangkat dua". Tingkat kebejatannya semakin tinggi karena penyelewengan itu terjadi untuk sekolah-sekolah miskin di daerah terpencil, atau bangunan-bangunan sekolah yang kondisinya memprihatinkan, yang bergantung pada ketepatan pemetaan ini. Betapa nistanya lembaga negara yang memiliki tugas utama mencerdaskan anak negeri dengan anggaran yang senantiasa dinaikkan setiap tahun itu—untuk 2014 diusulkan naik 7,5 persen menjadi Rp 82,7 triliun—ternyata bergelimang rasuah.
Bukan kali ini pula Kementerian Pendidikan disambar dugaan korupsi. Masih segar dalam ingatan penyimpangan dana dalam penyelenggaraan ujian nasional, yang secara kasatmata kibang-kibut dari pengadaan soal hingga pelaksanaannya. Fitra, lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi penggunaan anggaran negara dan daerah, menempatkan Kementerian Pendidikan sebagai lembaga terkorup ketiga setelah Kejaksaan dan Kementerian Keuangan.
Menurut hasil penelitian yang dimuat di situs antikorupsi.org, korupsi di Kementerian Pendidikan sudah terjadi sejak perencanaan. Disimpulkan juga sasaran empuk penyimpangan adalah proyek-proyek yang diadakan untuk menolong dan memperbaiki kualitas pendidikan masyarakat bawah, seperti untuk penyaluran DAK.
Maka pemberantasan korupsi di Kementerian Pendidikan memerlukan langkah lebih keras. Pelakunya diancam hukuman lebih berat dengan pertimbangan bahwa tujuan proyek di bidang pendidikan adalah meningkatkan kualitas kecerdasan bangsa. Apa jadinya bila orang-orang yang terlibat dalam bidang ini bermoral rusak.
Partisipasi pengawasan publik juga perlu ditingkatkan. Karena langsung menyangkut rakyat jelata, penerapan proyek DAK dan BOS perlu dikawal ketat oleh penduduk setempat. BPK juga mesti bekerja lebih sering memeriksa alur keuangan di Kementerian Pendidikan, tidak sebatas rutin setahun sekali. Temuan BPK bisa langsung dilaporkan ke Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo