Saya sangat terkesan pada tulisan "Kitab Suci, Milik Siapa?" (TEMPO, 13 Maret 1993, Kolom) dari Masdar F. Mas'udi. Memang, suatu hal yang sangat asasi untuk meyakini apa yang sepatutnya diyakini, dan mempertanyakan apa yang harus dipertanyakan. Ada satu hal yang ingin saya tambahkan, yakni akibat dapat timbul jika ada sebab. Demikian pula jika kita mempertanyakan, mengapa bisa terjadi suatu klaim kemutlakan yang bersifat apriori? Menurut saya, ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu: Pertama, sumber keyakinan itu sendiri. Sering terjadi suatu keyakinan diterima dari sumber yang telah menyimpang dari hakikat yang seharusnya diyakini. Itu terjadi, misalnya, akibat penyampaian yang salah karena adanya kepentingan pribadi dari oknum yang menyampaikan keyakinan tersebut. Kedua, kondisi pribadi dan lingkungannya. Ketidakmampuan seseorang menggunakan akal budi yang dimilikinya dengan sabar dapat membawa dirinya sendiri terkurung pada suatu keyakinan yang sempit. Itu sering terjadi karena minimnya pendidikan yang dimiliki. Kondisi lingkungan, seperti keluarga atau masyarakat, dapat memaksa seseorang untuk terhimpit pada suatu keyakin,an yang sempit. Karena itu, agar kitab suci dapat "go public", seharusnyalah manusia itu dikembalikan pada hakikat manusia yang sebenarnya. Manusia adalah ciptaan Tuhan, dan dirinya hanya seorang manusia. Manusia perlu kebebasan. Sebab, tanpa adanya rasa kebebasan, sangat mustahil manusia itu dapat meyakini apa yang ingin diyakininya dan bertanya apa yang ingin ditanyakannya. JAN B. SITEPU Sei Karang, Galang Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini