Membaca Laporan Utama TEMPO, 3 April 1993, tentang kelompok-kelompok "sempalan" Islam di tanah air kita, saya teringat ketika menjadi tamu kelompok Hutterite di Philadelphia, AS, akhir tahun 1991 lalu. Kami, rombongan pejabat Departemen Agama, diterima dengan sangat akrab oleh sekitar 400 orang (188 kepala keluarga) di satu aula besar. Kaum lelaki mereka memakai baju monyet yang sederhana, kelihatan lusuh, tapi bersih. Mereka masing-masing juga memelihara godek dan janggut. Para wanitanya menggunakan tutup kepala, dengan pakaian yang juga sangat sederhana: baju dan rok panjang sampai mata kaki. Perkampungan mereka tenang, sederhana, dan bersih. Tak seorang pun dari mereka mempunyai uang atau tabungan. Mereka tidak menonton film atau televisi. Mendengarkan radio sebatas warta berita atau informasi. Dua kali sehari mereka berkumpul dalam satu aula besar, makan siang dan makan malam. Sedangkan makan pagi dilakukan di rumah masing-masing. Pakaian yang sudah rusak diganti, dan diambil di gudang kelompok. Untuk menghidupi kelompok, mereka mempunyai dua buah pabrik (mainan anak-anak dan kaki palsu). Sehabis makan malam, mereka berkumpul untuk mengagungkan dan memuji asma Tuhan sampai waktu tidur. Hal ini, menurut mereka, dilakukan setiap hari. Anggota kelompok ini dapat naik mobil milik kelompok, bukan perorangan. Ini berbeda dengan kelompok Amish, yang merupakan kelompok induk sebelum mereka pecah. Kelompok yang terakhir ini, dekat daerah itu juga, tak jauh dari New York, malah mengharamkan mobil serta alat-alat mekanis dan elektronik. Mereka menggunakan pakaian hitam-hitam dan bepergian menggunakan kuda atau bendi. Alasan mereka berperilaku seperti itu ialah semata-mata agar lebih dekat dengan Tuhan, tidak diperbudak harta, dan lebih sesuai dengan cara hidup Yesus. Dari tahun ke tahun jumlah kelompok ini terus bertambah. Nurcholish Madjid, dalam ceramahnya di TIM, mengutip Toffler, menyebutkan bahwa lebih dari 1.000 kelompok seperti ini tumbuh di Amerika, dengan segala variasinya. Jadi, tampaknya, semakin modern suatu bangsa, semakin subur kelompok eksklusif. Juga di negeri kita, yang kota-kota besarnya sudah semakin "modern" itu, bahkan "Americanized". Mereka mungkin tak perlu dipersalahkan. Anggap saja varietas lain dari menjamurnya, misalnya, lapangan golf dan fitness center di kota-kota besar. Yang satu di bidang olah raga, dan yang satu lagi di bidang olah batin atau olah spiritual. Masyarakat Kristen sudah lama mempunyai kelompok ini. Dan kini masyarakat Islam. Saya kira juga pada kalangan Yahudi, Hindu, dan Budha. Bahkan kaum komunis mempunyai kelompok puritan. Ingat saja "Paman Ho", yang terkenal sederhana dan selalu memakai terompah dan baju "takwa". Penjelasannya, itu adalah semata-mata gejala jiwa yang direkayasa. Seandainya para nabi bangkit kembali, beliau-beliau akan heran melihat umatnya yang aneh-aneh. Para nabi tidak menganjurkan eksklusivisme. Mereka memimpin umat di tengah kemajemukannya. Nabi. menye,barkan rahmat dan kebahagiaan tanpa pilih bulu: Para nabi tak akan membuat "benteng", tetapi terjun mengatasi kemiskinan, penderitaan, kebodohan, dan ketidakadilan. USEP FATHUDIN Gang Tabah 16, Pancoran Jakarta 12780
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini