Salah satu bagian dari Laporan Utama TEMPO, 3 April 1993, mengetengahkan fenomena yang disebut "neo-sufisme", dengan menampilkan perbedaan "sufisme lama" dengan "sufisme baru". Perbedaan yang ditonjolkan TEMPO adalah perhatian neo-sufisme pada masalah sosial, yang dikontraskan dengan sufisme lama yang "menarik diri" dari dunia. Neo-sufisme bersikap positif ter: hadap dunia. Menurut saya, laporan TEMPO itu artifisial sekali dalam melihat sufisme dan cenderung fungsionalistik, bahkan mereduksisufisme supaya tunduk pada soal-soal sosial. Padahal, jika masalahnya adalah perhatian pada problem masyarakat - suatu sikap sufisme yang diharapkan tidak "antisosial" mengapa harus susah-susah dituntut pada sufisme? Atau, mengapa harus dicari suatu sufisme baru? Bukankah jauh lebih mudah dan proporsional jika diharapkan pada ilmuilmu sosial? Malah, keterlibatan dalam transformasi sosial jauh lebih efektif memakai sosiologi radikal, misalnya dalam melihat akarakar berbagai persoalan struktural dalam masyarakat dan jalan keluarnya. Jadi, tampak mengada-ada menarik sufisme pada komitmen sosial. Walaupun, itu mungkin saja, seperti yang dilakukan Hasan Hanafi, seorang ahli filsafat Islam Mesir, dengan menafsirkan sufisme sebagai teori revolusi, tapi dengan risiko kita kehilangan core dari sufisme itu. Core sufisme inilah yang sering dilupakan orang, bahkan tidak lagi dikenali,.kecuali sebagai sikap bermistik-mistikan dalam hidup, yang kemudian seperti dilakukan TEMPO dinilai "individualistik" dan anti-sosial. Sufisme, pada hakikatnya, adalah jalan Islam untuk berpartisipasi dengan "pengetahuan suci" (scientia sacra), jalan memasuki "pintu gerbang" alam surgawi atau alam ketuhanan. Pada dasarnya, kita sebagai manusia ini bersifat ketuhanan, karena diciptakan dalam citra Tuhan. Tapi kita tidak lagi mengalami realitas ketuhanan itu, karena kita "lepas" dari pusat diri kita itu, akibat desakralisasi radikal yang kita lakukan atas kehidupan dan diri kita. Tak ada lagi pengalaman keabadian yang membawa kita memasuki dunia asal, karena kita sudah menutupnya. Sufisme adalah jalan mengenali kembali dunia asal itu. Kalau dalam setiap agama ada yang disebut "hatinya", sufisme adalah the heart of religion itu, yang jika dilakukan transendentalisasi dengan agama-agama lain ia akan menjadi the religion of the heart. Inilah hakikat dari sufisme. Jadi, tidak ada soal sufisme lama atau sufisme baru. Bahkan sufisme dalam pengertian ini bersifat trans-historis. Dia adalah "ajaran Tuhan" sepanjang masa menyangkut ingatan untuk selalu menghubungkan diri dengan Tuhan. Karena itu, beberapa ahli menyebutnya "tradisionalisme Islam", disebabkan hakikatnya yang abadi dan universal itu. Kalau sekarang ada kecenderungan pada cara beragama yang sufistik, itu adalah suatu bentuk kebangkitan tradisionalisme, sekaligus suatu tanda ditemukannya kembali adanya Yang Suci dalam hidup ini. Kalau ada "gerakan neo-sufisme", itu hanya autentik jika mengungkapkan ajaran sufisme lama. Jika tidak, ia adalah "pseudo-sufisme", seperti menggejala dalam banyak tarekat palsu. BUDHY MUNAWAR-RACHMAN Jurnal Ulumul Qur'an Jalan Empang Tiga 31 A Pasar Minggu, Jakara Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini