Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Maraton Di Jakarta, Suatu Tradisi ?

Peminat lomba maraton tetap banyak. Padahal berdesakan, meletihkan dan cuaca yang panas sangat menyiksa. Masokhisme adalah keanehan jiwa yang merasakan nikmat di saat tersiksa.

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pagi yang mengagumkan. Minggu 11 Juni itu, 1.700 orang berlari 17 km dan 10 km di Jakarta. Di sepanjang jalan yang biasanya didesak dan dikotori mobil itu, mereka nyaris berhimpitan. Berkeringat. Terengah-engah. Mencoba mengejar waktu dan meraih jarak. Dan tak semuanya muda. Di antaranya ada yang di atas 60 tahun. Telah lahirkah sebuah gerakan baru? Atau sebuah tradisi? Apa pun juga, itu adalah pemandangan yang tak tersangka-sangka. Rupanya begitu banyak orang Indonesia yang "nekad". Rupanya cukup banyak orang Indonesia yang merasa tertantang, untuk menghentakkan beribu kali tulang dan otot kaki mereka ke aspal, yang mulai panas, sepanjang 10 atau 17 km. Ada yang tak sampai, tentu. Ada yang menempuh sisa jarak itu dengan terseot-seot jalan kaki. Ada yang terjatuh, pingsan atau kesakitan. Ada yang mencret di tengah jalan, dengan kotoran mengalir dari celananya ke paha. Ada yang sempoyongan sampai garis finis. Ada yang mengigau. Tapi yang sampai atau yang tidak mereka tidak gentar. Mungkin jarak 17 km belum apa-apa bagi sebuah maraton. Maraton Boston yang termashur di Amerika Serikat itu (yang diikuti orang dari pelbagai umur dan pelbagai profesi), lebih bisa bikin keder. Di setiap 'Hari Patriot' di pertengahan April, beberapa ribu pria dan wanita mengenakan sepatu lari mereka, bersiap-siap di sebuah jalan yang tak menyolok di dusun Hopkinton, Massachussetts. Ada yang mereguk minumannya sebagai persiapan terakhir. Ada yang kencing di kebun sayur dekat situ. Ada yang berpeluk dan berciuman dengan sanak-saudara, seakan-akan mereka bakal tak bersua lagi. Lalu, tepat tengah hari, pistol ditembakkan. Dan beberapa ribu umat manusia itu menghambur lari -- untuk menempuh jarak 41 km... Apa yang ingin mereka dapat? Mereka pasti tak mencari hadiah. Tapi jawaban tak selalu mudah dirumuskan oleh banyak orang yang ikut dalam kegiatan seperti itu. Sebab pemandangan di garis finis di Boston itu, misalnya, sering mengerikan: ada yang sampai dengan darah bercucuran, ada yang tersedu-sedu seraya saling merangkul sepanjang jalan bak prajurit terpukul mundur dengan cara ganas. Seorang penulis yang juga ikut lari pernah melukiskan proses pedih itu begini: "Beda antara jarak satu mil dengan maraton adalah beda antara rasa jari yang terbakar geretan dengan rasa terpanggang pelan-pelan di atas bara yang panas." Toh bebcrapa ribu orang terus saja ikut berlomba di Maraton Boston tiap tahun dan 1.700 orang muncul di Jakarta pagi itu. Maka orang pun bicara tentang "masokhisme", tentang keanehan jiwa yang merasakan nikmat di saat tersiksa. Benar atau tidak, seorang pelari jauh (meskipun "jauh" itu cuma 5 km) konon bisa mengetahui hubungan gaib antara kedua rasa itu. Dengan intim pedih dan nyaman membersit jauh di syaraf-syaraf tubuh. Di saat keringat menderas dan pori kulit menganga menyedot sisa-sisa dingin pagi, di saat tulang-tulang kaki terhantam-hantam lewat telapak yang membentur bumi, seluruh tubuh seakan-akan menyambut angin, matahari, warna, gerak, juga suara burung. Ekstase? James F. Fixx, penulis buku The Complete Book of Running (1977) menyatakan sesuatu yang mungkin berlebihan. Ketika ia membaca karya William James, Varieties of Religious Experience, ia kaget menemukan betapa miripnya bahasa para pelari jauh dengan bahasa kaum mistik .... Barangkali, ini adalah sebuah eulogia bagi lari. Mungkin orang butuh mendramatisir suatu kegiatan, yang bagi banyak "orang luar" (yakni: yang bukan pelari sama sekali tidak dramatis, membosankan, dan yang jika diterus-teruskan mirip kesibukan orang tak normal. Apalagi jika diterus-teruskan lari toh tak menghasilkan tubuh yang elok: yang muncul dari singlet basah-kuyup setelah hampir tiap hari 15 km itu biasanya badan yang mirip orang cacingan -- dengan pipi kempot. Tapi, "It's a treat, being a long-distance runner . . . ," tulis novelis Alan Sillitoe dalam The Loneliness of the Long-Distance Rumer. Mungkin karena tersedia cukup kebanggaan (yang terkadang mendekati kepongahan anak-anak) dalam sport ini. Mungkin karena tersedia cukup alasan untuk mengejek kekenyangan yang berlebih, di zaman ini, ketika "banyak" tak berarti "hik."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus