Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Normalisasi Itu Banyak Disorot

Menteri P & K Daoed Joesoef memberi penjelasan tentang konsep NKK di depan komisi IX DPR. Mahasiswa dapat menjalankan aksi politik di luar kampus dengan predikat pemuda. (nas)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLA normalisasi kampus bergulir di kaki anggota DPR pekan lalu. Konsep Menteri P&K Daoed Joesoef yang ingin mengembalikan peranan mahasiswa sebagai "manusia penganalisa" dan sekaligus "membangkitkan kekuatan penalaran individuil", banyak mendapat kritik. Pertemuan mahasiswa UI misalnya, tetap menghendaki mahasiswa bukan saja sebagai manusia penganalisa, tapi juga sebagai "pelopor dan penggerak pembaharuan bangsa dan negara." Ny. Theodora Walandouw, anggota fraksi PDI khawatir kalau konsep yang dilontarkan Menteri P&K itu akan menimbulkan mahasiswa dan tenaga yang "menganggap dirinya sebagai barang yang diperjual-belikan untuk digunakan oleh teknostruktur". Mengenakan kebaya biru muda kembang-kembang, berkaca mata, penampilan Walandouw, 58 tahun, tambah menarik hadirin ketika dikutipnya pendapat Erich Fromm, ahli ilmu jiwa dan filosof sosial yang terkenal dengan bukunya The Sane Society, suatu kritik kepada masyarakat Barat. Walandouw khawatir kalau konsep Menteri P&K itu akan melahirkan generasi yang kelak punya pandangan "saya ini adalah sebagai yang diharapkan anda", dan bukan "saya ini adalah yang saya perbuat". Kalau sampai timbul pikiran yang begitu, menurut Walandouw, "itu bertentangan secara diametral dengan gagasan pembangunan manusia seutuhnya berdasarkan Pancasila." Tak Hanya Ijazah Tapi ketika memberi penjelasan di depan Komisi IX (bidang Pendidikan) beberapa hari sebelumnya, Daoed Joesoef tegas menyatakan tak setuju kalau mahasiswa itu hanya ingin memburu ijazah. Ia beranggapan mahasiswa "seharusnya merupakan penghasil gagasan yang disajikan dalam bentuk pemikiran yang teratur." Dalam rapat kerja perkenalan itu dibaginya bidang teknostrktur itu menjadi 3 bagian sosial politik, sosio ekonomi dan sosio kebudayaan, yang semuanya membutuhkan warganegara yang punya penalaran kuat, yang "sanggup mengajukan reason jauh lebih dulu dan lebih banyak daripada feeling." Pendeknya, menurut Menteri P&K, "penalaran yang korek sekaligus juga merupakan dasar yang kuat bagi keluhuran dan kemantapan budi pekerti." Ny. Walandouw punya pendapat yang berbeda tentang konsep penalaran itu. Dia melihat fungsi utana dalam eksistensi manusia terdiri dari akal, karsa atau rasa. "Karena akal dapat memilih jalan yang keliru, maka akal tidak dapat menjadi unsur pimpinan dalam realisasi kehidupan Karsa atau rasa itulah yang harus mengambil tampuk pimpinan," katanya. Dalam keterangannya pada TEMPO, Sarwono Kusumaatmadja, anggota FKP, menyebut manusia penganalisa itu perlu dilengkapi. "Jangan hanya yang mengagungkan rasio, tapi manusla yang punya rasa dan cita harus pula ditampung," katanya. Dia khawatir kalau konsep, yang belum dilihatnya relevan dengan GBHN, tak memenuhi harapan pemerintah sendiri. Sebab menurut Sarwono, "selama terjadi proses alienasi pemerintah dan masyarakat, konsep itu secara materiil tak akan jalan." Mengutip bab Pendidikan di dalam GBHN, wakil ketua Komisi APBN Ridwan Saidi beberapa hari sebelumnya, kepada TEMPO, juga mengingatkan "kekurangan" akan konsep manusia penganalisa itu. "Manusia penganalisa itu kan hanya satu elemen saja dari manusia Pancasila seperti yang dicita-citakan GB HN," kata Ridwan. Hal yang senada juga diutarakan anggota FPP Amir Hamah, dalam dengar pendapat dengan Menteri P&K. Kebijakan Politik Tapi menurut Menteri P&K, "sebagai manusia penganalisa bukan berarti, mahasiswa tidak dapat menjalankan aksi politik tanpa keluar dari hakikat kepribadiannya." Ia menanggapi politik itu dalam 3 pengertian konsep, kebijakan (policy) dan arena percaturan. Kalau mahasiswa mengambil artian yang kedua -- dalam bentuk aksi dan kebijakan politik seperti yang terjadi belakangan ini -- sebenarnya mereka melakukan aktifitas yang tidak sesuai dengan hakikat kemahasiswaan. "Aksi beginilah yang telah mengubah kampus dari dunia berpikir menjadi satu arena politik (politik dalam artian ketiga), mengubah dunia mahasiswa menjadi satu dunia sindikat," Daoed Joesoef menegaskan. "Aksi seperti itu harus dilakukan di luar kampus, dengan predikat pemuda." Bisakah itu dilakukan dalam kondisi Indonesia kini? Sarwono Kusumaatmaja menjawab: "Selama institusi politik itu lemah, selama itu pula institusi yang punya potensi berperan sebagai kekuatan politik akan mempengaruhi kampus." Menurut Sarwono, yang merasa DPR belum berperanan baik, dengan tidak menyelesaikan problem dasarnya, "normalisasi kampus itu sia-sia saja. Saya lebih senang menyebut normalisasi bangsa dan negara." Kenapa terjadi demikian? "Sebab pemerintah terlalu kuatir terhadap dinamika, yang kalau dilihat dari kacamata sekuriti selalu memancing kekacauan. Seharusnyalah pemerintah memberi mekanisme sehingga dinamika itu bisa ditampung," kata Sarwono. Ridwan Saidi berpendapat, selain pengambilan keputusan dalam organisasi ekstra berbelit, "organisasi ekstra tidak dengan sendirinya bisa menampung aspirasi mahasiswa, yang tidak spesifik." Masih dalam nada serupa, Amir Hamzah mengatakan, ketika aksi politik di dalam kampus dilarang, sementara itu aksi di luar kampus tersendat-sendat karena fungsi dan peranannya yang belum jelas. Apabila aksi politik ini tidak tersalur secara wajar, "pada saatnya hanya akan menggalakkan ekstremitas yang tidak terkontrol," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus