Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kiki Verico*
Reshuffle kabinet kembali terjadi pada 27 Juli lalu. Kali ini pos menteri dan kepala badan yang terkait langsung dengan daya saing ekonomi, yakni perdagangan, perindustrian, dan investasi, mengalami perubahan. Ini adalah momen yang tepat untuk kembali mengingat bahwa peningkatan daya saing memang bersifat jangka panjang tapi harus dipikirkan sejak sekarang.
Kali ini tantangannya cukup berat karena ekonomi Cina diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan dari 6,9 persen tahun lalu ke 6,5 persen tahun ini (Dana Moneter Internasional/IMF 2016). Besarnya proporsi Cina terhadap ekonomi dunia dan tingginya peran industri Tiongkok dalam 15 tahun terakhir membuat ekonomi dunia diperkirakan hanya tumbuh sedikit dari 3,1 persen pada 2015 ke 3,2 persen tahun ini. Kelesuan ekonomi Cina dan dunia tentu berdampak pada Indonesia sehingga kita diperkirakan hanya tumbuh sedikit dari 4,8 persen (2015) menjadi sekitar 5 persen (2016).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa saja lebih tinggi dari estimasi ini bila jumlah uang yang masuk dari luar negeri terkait dengan repatriasi dan arus modal jangka pendek naik cukup signifikan pada triwulan ketiga dan keempat tahun ini. Indikasi ke arah ini sudah ada karena dalam tiga bulan terakhir cadangan devisa Indonesia naik dari US$ 103,6 miliar (Mei) ke US$ 111,4 miliar (Juli). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menguat dari 13.635 (31 Mei) menjadi 13.122 (5 Agustus). Namun neraca transaksi berjalan Indonesia tetap defisit dan ini sudah terjadi sejak akhir 2012.
Kendati menguat, posisi rupiah terhadap dolar Amerika tetap undervalue, di mana nilai tukar riil rupiah lebih kuat dari nilai tukar nominalnya. Rupiah tidak mampu menguat menuju nilai tukar riil karena selain pilihan, kekuatan pasar memang jauh lebih besar dari kemampuan otoritas untuk mempertahankan nilai tukar tersebut. Cadangan devisa Indonesia belum cukup besar bahkan dibandingkan dengan negara yang ukuran ekonominya lebih kecil, seperti Singapura dan Thailand.
Secara teori, posisi rupiah yang undervalue dapat meningkatkan surplus neraca perdagangan. Namun, secara empiris, umumnya hal ini hanya terjadi di negara-negara yang menggunakan sistem nilai tukar tetap. Indonesia tidak lagi mengadopsi sistem ini. Permasalahan nilai tukar sebenarnya terletak pada fluktuasinya yang sangat cepat. Bagi pelaku usaha ekspor-impor, persoalan nilai tukar bukan terletak pada kecenderungan menguat atau melemah, melainkan pada perubahan yang terjadi secara tiba-tiba (Survei LPEM, 2014).
Fluktuasi yang cepat lantaran sumber devisa didominasi oleh arus modal jangka pendek dan perdagangan valas di luar transaksi sektor riil. Untuk memiliki nilai tukar yang stabil, sumber utama devisa idealnya berasal dari modal jangka panjang, seperti investasi fisik, dan hasil dari daya saing sektor riil, seperti perdagangan barang, jasa, turisme, dan transfer pendapatan dari luar negeri. Dari sisi sektoral, yang sebaiknya menjadi sumber utama devisa Indonesia adalah industri manufaktur. Namun kontribusi manufaktur terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional cenderung menurun dari 27 persen pada 2005 menjadi 21 persen tahun lalu. Artinya, rata-rata pertumbuhan manufaktur masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional karena daya saing yang belum optimal. Seperti apa masa depan persaingan industri manufaktur?
Sejak awal abad ke-20, produksi manufaktur tidak lagi dilakukan oleh satu negara, tapi oleh beberapa negara dalam satu rantai produksi. Kini, seiring dengan perkembangan sektor jasa, keunggulan manufaktur tidak hanya dipengaruhi oleh jaringan produksi, tapi juga jaringan penjualan dan distribusi. Karena itu, persaingan manufaktur—saat ini dan di masa depan—terletak pada kemampuan negara untuk masuk ke jaringan produksi dan penjualan dunia. Kedua jaringan ini masuk ke jaringan nilai tambah global (global value chains/GVCs). Bagaimana posisi manufaktur Indonesia dalam GVCs?
Posisi setiap negara dalam GVCs dapat diketahui dari indeks yang disediakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan Bank Dunia. Umumnya ada tiga indikator utama. Pertama, jaringan produksi internasional, di mana semakin banyak jaringan berarti semakin baik. Kedua, selisih dari input ke permintaan akhir di mana semakin besar semakin baik. Ketiga, partisipasi hilir atau hulu di mana semakin ke hulu berarti semakin baik dalam produksi dan semakin ke hilir berarti semakin baik dalam penjualan. Tiga indikator di atas menunjukkan bahwa peran Indonesia dalam GVCs masih berada di bawah Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Penulis dan tim LPEM dengan beberapa proksi mencoba menganalisis indikator awal GVCs Indonesia menurut sektor. Pertama, melihat kaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) dari ekspor dan impor sebagai proksi partisipasi hilir dan hulu. Kedua, membandingkan pendapatan dari jasa manufaktur sebagai proksi tahap produksi. Ketiga, mengadopsi profit sebagai proksi selisih antara permintaan akhir dan input.
Hasil perhitungan proksi pertama mengkonfirmasi hitungan OECD bahwa partisipasi Indonesia dalam GVC lebih banyak ke sektor hilir. Artinya, Indonesia masih berkutat pada penjualan dan belum optimal dalam berproduksi. Keterkaitan ke arah sektor hulu di Indonesia masih didominasi oleh sektor jasa sehingga pemerintah perlu mendorong industri ke arah sektor hulu melalui penguasaan R&D, desain, dan proses produksi itu sendiri. Kedua, proksi tahap produksi menunjukkan baru sekitar 10 persen industri manufaktur di Indonesia yang melakukan ekspor, baik langsung maupun tidak langsung. Ketiga, baru sekitar 4 persen industri manufaktur nasional menikmati profit tinggi di dalam bisnis global dan 5 persen menerima pendapatan dari jasa manufaktur dunia.
Bila dilihat dari jenis komoditas, sebagian besar manufaktur Indonesia yang menikmati keuntungan dalam GVCs adalah industri berbasis sumber daya alam, seperti kerajinan dan perabotan kayu; karet dan logam lainnya; lalu industri makanan, seperti udang dan ikan dalam kaleng, pengolahan kopi dan teh, makanan instan, dan minyak goreng; serta industri alat transportasi, seperti kapal dan perahu. Kekuatan Indonesia dari hulu dan hilir masih didominasi industri komoditas primer seperti industri minyak dan gas serta kertas, industri dasar seperti kimia dan plastik, serta industri padat karya seperti pakaian, rajutan, dan tekstil. Indonesia perlu mendorong industri alat komunikasi, otomotif, serta elektronik dan komponennya untuk semakin kuat dalam jaringan global, terutama berpartisipasi di sektor hulu seperti R&D, desain, dan lini produksi.
Sepuluh tahun lalu, saat terjadi kenaikan harga komoditas dunia dan Indonesia menikmatinya, banyak proyeksi optimistis yang memperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, misalnya pada 2030, akan berada di atas 7,5 persen. Kini, di tengah lesunya ekonomi Cina dan dunia, beberapa estimasi memperkirakan bahwa Indonesia hingga 15 tahun ke depan akan tumbuh rata-rata 6 persen. Tentu diperlukan terobosan agar Indonesia mampu tumbuh rata-rata di atas 7 persen dan ini tidak mungkin tanpa peran industri manufaktur dalam GVCs.
Agar dapat masuk lebih dalam ke jaringan dunia tersebut, Indonesia harus memiliki daya tarik sisi suplai, seperti sumber daya manusia yang produktif, infrastruktur yang berkualitas, dan skala ekonomi yang memadai. Dari sisi kebijakan, dibutuhkan sinergi yang solid antara perencanaan dan implementasi di lapangan. Itu sebabnya masa depan daya saing Indonesia bergantung pada pemberdayaan industri yang didasarkan pada visi jangka panjang yang kuat dan implementasi yang konsisten. Implementasi itu membutuhkan harmonisasi antarkementerian dan badan yang terkait, yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Keuangan, serta tentu saja koordinasi di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian dan dukungan kementerian teknis lain.
*) Dosen & Peneliti LPEM FEB UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo