Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hak guna usaha di tanah di IKN dapat berlaku hingga 190 tahun.
MK pernah menyatakan peraturan serupa melanggar konstitusi.
Hak atas tanah di IKN seharusnya dijalankan secara adil dan beradab.
Iwan Nurdin
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation dan Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pengurus Pusat Muhammadiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara (IKN). Melalui peraturan itu, pemerintah dapat memberikan fasilitas hak atas tanah yang secara akumulatif berlaku nyaris dua abad, yakni hak guna usaha (HGU) selama 190 tahun serta hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP) selama 160 tahun sekaligus di muka. Bahkan, dalam proses pemberian hak-hak tersebut di atas, hak pengelolaan (HPL) investor dibebaskan dari tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberian hak dengan jangka waktu demikian lama dapat kita rasakan sebagai sikap ahistoris di bidang pertanahan dan keengganan becermin pada situasi agraria di masa lalu, saat bangsa kita mengalami penjajahan. Bandingkan, misalnya, dengan Agrarische Wet 1870, undang-undang agraria era kolonial, yang “hanya” memberikan hak konsesi atas tanah paling lama 75 tahun. Sejarah menggambarkan bahwa, akibat pemberian konsesi tersebut, terjadi perampasan tanah dan kemiskinan absolut masyarakat di sekitar kemegahan konsesi.
Karena itulah, pengaturan yang serupa dengan peraturan pemerintah untuk IKN itu telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah sekaligus di muka (pemberian hak, perpanjangan, dan pembaruannya) berupa HGU selama 95 tahun, HGB 80 tahun, dan HP 70 tahun adalah inkonstitusional.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa, dalam setiap praktik pemberian hak ataupun pemberian izin, asas-asas umum pemerintahan yang baik harus tetap dipegang teguh. Pemberian perpanjangan hanya dapat dibenarkan ketika masa berlaku tahap pertama akan selesai. Lazimnya, perpanjangan hak dan izin hanya dapat diberikan setelah melalui prosedur evaluasi dan hal ini tidak mungkin dilakukan jika perpanjangan hak atas tanah tersebut telah diberikan di muka.
Sebenarnya, selain bertentangan dengan konstitusi dan hukum agraria, peraturan pemerintah untuk IKN semacam itu mengerdilkan wewenang Otorita IKN. Sebab, sebagai pemegang hak pengelolaan, Otorita IKN telah dibuat sejajar dengan para investor melalui sebuah perjanjian hak atas tanah yang mengikat Otorita IKN selama hampir dua abad. Konsekuensinya terlihat dari tiadanya pengaturan mengenai pencabutan atau penghapusan hak atas tanah dalam peraturan pemerintah tersebut. Seyogianya, dalam setiap pemberian hak atas tanah, tata cara pencabutan hak dan pemberian sanksi harus dibuat secara jelas sebagaimana kejelasan tata cara pemberiannya.
Dengan pengaturan semacam ini, bisakah IKN Nusantara memenuhi janji politiknya sebagai perwujudan dari “tanah terjanji” ibu kota Indonesia? Bukankah selama ini elite politik dan pemerintah selalu berusaha meyakinkan khalayak luas bahwa pembangunan IKN merupakan mewujudkan ibu kota yang dapat menggambarkan seluruh proses kebangsaan, sejak era merebut kemerdekaan hingga sekarang? Bahkan, para elite melambangkan IKN sebagai kesiapan bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan pada tahun, dekade, dan abad-abad mendatang.
Saya khawatir, dengan lahirnya peraturan pemerintah ini, IKN dapat tergelincir menjadi “ibu kota lebih kejam dari ibu tiri”. Ungkapan yang populer di era 1980-an itu merupakan kiasan betapa DKI Jakarta menjadi kota yang tumbuh tanpa belas kasihan, khususnya kepada warga yang papa. Tentu, pengalaman tersebut tidak perlu berulang di IKN.
Bagaimana sebaiknya menjamin pelaksanaan hak atas tanah di IKN yang adil dan beradab? Merujuk pada Undang-Undang IKN, penetapan tanah-tanah di IKN akan berbentuk hak pengelolaan. Dengan langkah awal demikian, seharusnya ia menjadi dasar dan contoh dari pelurusan implementasi hak menguasai negara (HMN) yang selama ini banyak diselewengkan. Sebagai ibu kota, berkiblat kepada konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria adalah langkah paling tepat.
Pengertian HMN mencakup bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), pengaturan (regelendaad), pengurusan (bestuursdaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezicht houden daad) dengan tujuan utama sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengacu pada konsep ini, langkah yang seharusnya segera dilakukan pemerintah di IKN adalah melakukan pendaftaran tanah secara sistematis serta lengkap sehingga semua bidang tanah telah teradministrasi dan terpetakan dengan baik.
Melalui pendaftaran, hak atas tanah yang sudah ada dan klaim masyarakat, khususnya masyarakat adat, atas tanah di wilayah IKN yang hendak ditetapkan sebagai HPL dan model penyelesaiannya dapat dirumuskan bersama mereka. Pemerintah semestinya tidak hanya berpegang teguh secara formal bahwa semua wilayah IKN adalah tanah negara. Tindakan ini hanya mengulang tindak tanduk pemerintah Hindia Belanda pada masa kolonial dalam membangun kota, ketika asas domein verklaring berlaku.
Dengan dasar pendaftaran tanah yang lengkap, penetapan seluruh IKN sebagai wilayah yang lengkap dari sisi pertanahan, kepastian rencana detail tata ruang, dan jenis-jenis hak atas tanah yang mengikuti tata ruang telah menggunakan dengan baik seluruh tahapan yang sejalan dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Ini merupakan wujud pokok dari kepastian hukum agraria yang tidak terjadi di tempat lain.
Mengundang swasta dalam proses pembangunan IKN merupakan hal yang biasa. Tapi memberi janji tanah kepada swasta untuk nyaris dua abad telah membuat “tanah terjanji” di IKN hanyalah kaveling-kaveling yang berisi merek dagang semata.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo