Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengeltuarkan pernyataan kontroversial. Kali ini bukan Firli Bahuri, melainkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, yang menyebutkan bahwa Harun Masiku dan Nurhadi akan disidangkan secara in absentia. Langkah lembaga antirasuah ini seakan-akan menggambarkan sikap pimpinan KPK yang enggan bersusah payah menemukan kedua buron tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan ini akan saya bagi menjadi tiga bagian. Pertama, aspek hukum dan urgensi peradilan in absentia. Kedua, menelisik sejauh mana upaya yang sudah dilakukan KPK dalam pencarian kedua buron. Ketiga, implikasi yang akan dihadapi oleh KPK ketika memaksakan langkah menyidangkannya tanpa kehadiran terdakwa.
Pada dasarnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa setiap terdakwa wajib mengikuti jalannya sebuah persidangan. Ini sekaligus sebagai pengejawantahan prinsip hak asasi manusia dalam penegakan hukum. Penjelasan atau keterangan dari sisi tersangka pelaku kejahatan mutlak diperhitungkan di persidangan. Ketentuan KUHAP itu pun senada dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1988, yang pada intinya meminta hakim menolak setiap pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa buron.
Namun berbeda halnya dengan tindak pidana korupsi. Sebagai kejahatan yang digolongkan luar biasa, ketentuan menjalankan persidangan tanpa kehadiran terdakwa adalah suatu keniscayaan. Poin ini termaktub dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. Ini menandakan bahwa pembentuk undang-undang memahami karakteristik pelaku korupsi yang akan selalu memanfaatkan kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki untuk menghindar dari jerat hukum.
Sampai pada bagian ini, ide Nurul Ghufron masih bisa diterima oleh akal sehat. Namun duduk persoalannya bukan di situ, melainkan pada aspek urgensinya. Jika membaca lebih detail penjelasan Pasal 38 ayat 1 undang-undang tadi, sebenarnya ia menyebutkan bahwa peradilan in absentia dilakukan semata-mata untuk menyelamatkan kekayaan negara. Permasalahannya, baik Harun Masiku maupun Nurhadi tidak dijerat dengan pasal kerugian negara, melainkan suap-menyuap. Lalu apa yang dicari KPK dengan memaksakan untuk melakukan peradilan in absentia?
Semestinya KPK lebih memprioritaskan peradilan in absentia pada perkara dengan nilai kerugian yang besar, seperti skandal penerbitan surat keterangan lunas obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam perkara itu, sudah jelas dan terang benderang nilai kerugian negara fantastis, yakni Rp 4,58 triliun, dan dua tersangkanya juga masih melarikan diri (Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim). Namun, apa daya, lima pemimpin KPK saat ini justru terlihat menghindar dan takut menyentuh perkara itu.
Sudah sejak awal memang terlihat tidak adanya keseriusan KPK dalam mencari dua buron tersebut. Dengan rekam jejak KPK selama ini, sebenarnya mustahil mereka gagal meringkus buron korupsi, terlebih lagi keduanya diduga keras berada di Indonesia. Karena itu, tidak salah jika masyarakat berkaca dan membandingkannya dengan KPK era Abraham Samad yang mampu menangkap mantan Bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, di Kolombia hanya dalam waktu 77 hari.
Harus dikatakan bahwa KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri memang mengalami kemunduran yang luar biasa. Alih-alih menunjukkan performa yang baik, lima pemimpin KPK malah lebih sering blunder di hadapan masyarakat. Misalnya, atraksi dari Ketua KPK ketika menunjukkan bakatnya memasak nasi goreng di hadapan awak media, melakukan puluhan kunjungan ke berbagai instansi negara, dan adanya upaya pemaksaan untuk mengeluarkan penyidik KPK, Komisaris Rossa.
Survei Indo Barometer beberapa waktu lalu sebenarnya dapat menjadi tolok ukur bagaimana pandangan masyarakat terhadap masa depan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Hasilnya, seperti yang sudah diperkirakan, KPK tidak lagi berada di peringkat tiga besar. Tentu ini menandakan ada persoalan yang serius pada KPK, terutama terkait dengan kebijakan pada level pemimpin itu sendiri.
Pada bagian lain, penting juga untuk memperhatikan implikasi yang akan diterima oleh KPK ketika tetap memaksakan praktik persidangan in absentia ini. Hal yang pasti diterima oleh lembaga antirasuah itu adalah cercaan dari masyarakat luas. Sebab, secara teknis hukum sudah pasti KPK tidak akan mendapatkan apa-apa dari persidangan tersebut. Pemidanaan penjara mustahil karena dua orang itu tidak diketahui keberadaannya dan perampasan aset juga tidak mungkin karena perkaranya tidak berkaitan dengan kerugian negara. Dengan kata lain, metode ini hanya akan menguntungkan dua buron itu.
Polemik Harun Masiku dan Nurhadi ini menjadi pertanda awal bagi kehancuran KPK di bawah kepemimpinan Komisaris Jenderal Firli Bahuri. Narasi keberpihakan antikorupsi yang diucapkan oleh lima pemimpin KPK saat mengikuti proses seleksi nyatanya hanya omong-kosong belaka.