Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musim kemarau telah dimulai. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), saat ini 51,2 persen wilayah Indonesia telah memasuki kemarau. Wilayah ini merupakan sentra pertanian, yang mencakup pesisir timur Aceh, bagian barat Sumatera Utara, pantai timur Riau-Jambi, pesisir utara Banten, Jawa Barat bagian utara, Jawa Tengah bagian utara dan timur, sebagian Bali, sebagian besar Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat bagian selatan, pesisir selatan Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara bagian utara, Pulau Buru serta Papua Barat bagian timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibanding rata-rata curah hujan normal pada 1981-2010, 50 persen dari wilayah-wilayah ini menunjukkan kondisi di atas normal atau lebih basah dari biasanya. Adapun 30 persen wilayah lebih kering (di bawah normal). BMKG memperkirakan kemarau di sebagian wilayah Indonesia cenderung basah, hanya 30 persen berpotensi kering, dan tidak ada ancaman anomali iklim global.
Prediksi ini sesuai dengan perkiraan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang menyebut 2020 sebagai tahun "matahari minimum". Ini ditandai dengan aktivitas matahari yang mencapai siklus bintik matahari minimum. Saat permukaan matahari memiliki bintik matahari terendah terjadi, ini disebut "matahari lockdown". Artinya, aktivitas matahari minim atau dianggap berhenti. Seperti BMKG, NASA memprediksi Indonesia mengalami kemarau basah. Terakhir, Indonesia mengalami kemarau basah atau siklus minimum pada 2010.
Ini tentu kabar menggembirakan bagi dunia pertanian Indonesia. Kemarau basah memungkinkan sejumlah daerah untuk tetap menanam tanaman pangan karena air masih cukup. Tinggal disesuaikan dengan ciri setiap tanaman. Untuk wilayah kemarau basah, tanaman pangan yang memerlukan kecukupan air bisa menjadi pilihan. Sebaliknya, buat wilayah yang lebih kering pilihan komoditasnya harus tepat. Selain mengurangi risiko kegagalan, langkah ini memungkinkan petani tetap untung.
Khusus untuk padi, petani harus bijak. Sebaiknya padi hanya ditanam di wilayah yang masih memungkinkan ada air. Padi termasuk salah satu tanaman yang memerlukan asupan air cukup agar bisa tumbuh baik. Wilayah yang lebih kering sebaiknya menanam palawija. Yang perlu diwaspadai, kemarau basah biasanya berasosiasi dengan aneka hama penyakit. Untuk padi, kemarau basah identik dengan hadirnya wereng dan tikus. Ini harus diantisipasi sejak dini agar pola tanam padi tidak membawa bencana.
Musim gadu (Juni-September) dan musim paceklik (Oktober 2020-Februari 2021) menjadi perjudian penting apakah krisis beras tahun ini bakal terjadi atau tidak dan seberapa dalam krisisnya. Selama ini, 60-65 persen produksi beras dihasilkan pada musim panen raya, disusul panen gadu sebesar 30-35 persen, dan sisanya saat paceklik. Tanda-tanda krisis beras pada tahun ini belum tampak tapi, apabila tak diantisipasi, krisis berpeluang terjadi saat paceklik nanti.
Produksi padi tahun ini diperkirakan kembali turun seperti tahun lalu. Produksi padi periode Januari-Agustus 2020 diperkirakan hanya 23,05 juta ton setara beras (BPS, 2020), lebih rendah dari periode sama pada 2019 (24,46 juta ton) dan 2018 (26,37 juta ton). Penurunan ini tergolong besar. Akibatnya, surplus produksi Januari-Agustus 2020 diperkirakan hanya 2,91 juta ton beras, lebih rendah dari periode yang sama pada 2019 (4,63 juta ton) dan 2018 (6,69 juta ton).
Selain itu, musim panen raya tahun ini bergeser sebulan dari kondisi normal karena durasi kemarau lebih panjang. Kala situasi normal, panen raya berlangsung pada Februari-Mei. Tahun ini, panen raya berlangsung pada Maret-Mei. Pergeseran musim ini berpotensi menurunkan luas tanam dan produksi musim gadu. Kalau penurunan produksi musim gadu dan paceklik cukup besar, krisis beras akan semakin dalam. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu, momentum matahari lockdown harus bisa dimanfaatkan secara optimal.
Untuk mengantisipasi krisis, harus dipastikan tidak ada gangguan berarti dalam proses produksi padi pada musim gadu dan paceklik. Tahun lalu, produksi pada musim gadu dan paceklik masing-masing 10,77 juta ton dan 6,64 juta ton beras. Paling tidak, produksi pada dua musim ini bisa dijaga sama dengan tahun lalu. Maka, akses petani atas input produksi harus dijamin. Rantai pasok mesti aman dan produksi petani pasti terserap pasar agar keberlanjutan produksi terjaga.
Pada saat yang sama, harus ada kebijakan yang memudahkan petani dalam mengakses "bahan bakar" untuk menjaga keberlanjutan usaha tani. Yang paling penting adalah modal, terutama untuk biaya tenaga kerja dan membeli input produksi standar. Pemerintah telah menyediakan kredit usaha rakat pertanian dalam jumlah besar. Petani harus mudah mengaksesnya tanpa embel-embel agunan. Kenyataannya, masih banyak petani yang sulit mengakses kredit tersebut.
Kementerian Pertanian sebaiknya menghindari pemberian bantuan pupuk dan bibit gratis. Pengalaman pada masa lalu, program semacam ini selalu disertai moral hazard. Pemerintah lebih baik berkonsentrasi dalam memastikan pasar bisa menyerap semua produksi petani dengan harga yang menguntungkan. Bila produksi padi ternyata turun dalam, pemerintah masih bisa mengandalkan produksi pangan non-beras, seperti jagung atau sorgum, yang diusahakan di wilayah yang lebih kering. Tanaman pangan non-beras menjadi bantalan penting apabila krisis beras terjadi.