Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia, @mpujayaprema
Ada rasa syukur ketika Presiden Jokowi mengambil keputusan untuk menunda eksekusi mati wanita Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso, hanya beberapa jam sebelum pasukan Brimob menembaknya di Nusakambangan. Telah diketahui, tekanan yang diterima Jokowi bertubi-tubi menjelang eksekusi mati gelombang kedua ini. Tapi ia tak gentar. Ini patut dibanggakan bahwa kedaulatan negara tak bisa diintervensi oleh tekanan, bahkan ancaman. Proses hukum yang berliku telah ditempuh oleh terpidana mati itu dan hasil akhirnya adalah dor.
Tapi tidak untuk Mary Jane. Tekanan itu bukan pada nyala lilin yang dibawa demonstran di depan Istana, bukan pula "pengakuan baru" terpidana dan pengacaranya yang menyebutkan berbagai kejanggalan dalam proses persidangan. Ada seseorang yang mengaku bernama Maria Kristina Sergio, yang menyerahkan diri di kepolisian Filipina. Maria inilah yang merekrut Mary Jane dan merekayasa agar wanita yang menjadi buruh migran itu terbang ke Yogyakarta dengan tas yang sudah ada narkoba.
Apakah ini sekadar alibi untuk menunda eksekusi? Kemungkinan itu bisa terjadi. Semua terpidana mati berjuang mati-matian untuk menunda eksekusi. Mereka bahkan melakukan langkah hukum yang sesungguhnya sudah tertutup, seperti pengajuan PK (peninjauan kembali) untuk kedua kalinya, menggugat ke PTUN, maupun meminta grasi ulang ke presiden. Dalam kasus Mary Jane, ada sesuatu yang harus dibuktikan kembali, apakah dia pelaku atau teperdaya. Yakni, dengan mengusut Maria Kristina. Untuk itulah Mary Jane perlu "ditunda kematiannya".
Inilah risiko hukuman mati. Hukuman yang berkaitan dengan nyawa seseorang yang tak bisa dikembalikan lagi seandainya kelak ada penerapan hukum yang salah. Vonis yang tak bisa dikoreksi betapa pun fatalnya kesalahan itu. Mati yang diyakini hak prerogatif Tuhan diambil alih kewenangannya oleh manusia, yang bisa saja berbuat salah. Maka atas nama kemanusiaan dan atas nama manusia yang tak selalu benar, banyak negara yang menghapuskan hukuman mati dari hukum positif negaranya. Misalnya, Prancis, Swedia, Australia, juga Belanda, di mana hukum kita banyak berkiblat.
Di negeri kita tercinta, pro-kontra hukuman mati tak pernah selesai. Mungkin karena kita terbiasa melihat orang mati: orang tergeletak di jalanan dan penabraknya bisa saja bebas bersyarat kalau ayahnya berpangkat. Mati massal tertimbun tanah longsor atau pesawat terbang nyungsep di laut. Namun tidak kah bisa kita renungkan bahwa mati seperti itu berbeda dengan mati yang direncanakan, mati yang didahului oleh jumpa pers sejumlah pejabat yang ingin dapat panggung, mati setelah berpeluk-pelukan antar-kerabat, mati yang waktunya bisa dihitung detik per detik. Untuk apa nyawa yang dihilangkan dengan perencanaan dan kehirukpikukan itu? Membalas sebuah kejahatan atau untuk mencegah kejahatan serupa?
Jokowi menyebut ada 33 orang mati karena narkoba setiap hari, ada penderitaan di panti rehabilitasi. Badan Narkotika Nasional menyebutkan bahwa 75 persen peredaran narkoba dikendalikan dari penjara. Intinya adalah eksekusi ini untuk memberi efek jera, bayangkan sudah dipenjara saja mereka tak jera. Pernyataan yang bagus. Akan lebih bagus lagi kalau darurat narkoba ini disertai tindakan lain, misalnya, memecat sipir penjara dan menghukum berat yang melindungi peredaran narkoba itu, tanpa pilih kasih. *
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo