Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Maut

"Manusia mati, dan mereka tak berbahagia."

24 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Manusia mati, dan mereka tak berbahagia."

Caligula dalam Caligula, oleh Albert Camus

Caligula mulai ditulis pada 1938, dipentaskan pertama kali di tahun 1945. Di masa ketika kehidupan kembali terancam perang dan penindasan, lakon itu disambut di mana-mana. Tapi kini, 2017, kalimat Caligula bisa jadi statemen yang usang; orang mulai berpikir, kematian bukan makin akrab. Terutama sejak Ray Kurzweil, direktur engineering ("rekayasa") Google, mengatakan dengan tatapan mata yakin bahwa manusia tak niscaya mati. Caligula akan terbukti salah. Manusia bisa memilih hidup selama-lamanya. Kemajuan medis dan perbaikan teknologi di masa 12 tahun mendatang akan membuka pilihan itu.

Sekitar tahun 2045 nanti, kata Kurzweil, "kecerdasan yang bukan-biologis" akan diciptakan. Kemampuannya akan "bermiliar-miliar kali lebih kuat ketimbang semua kecerdasan manusia hari ini". Kecerdasan bikinan itu akan menemukan nanoteknologi yang bisa diletakkan dalam tubuh manusia. Dengan cara itu sistem kekebalan tubuh bisa diperbaiki.

Sebuah proyek yang disebut Human Immortality Project (HIP) disiapkan. Di sini sasaran utama adalah proses menua. Menjadi tua adalah sumber pelbagai penyakit. Maka menua mesti dicegah, bahkan dibalikkan.

Dalam pengertian ilmu, menua adalah merosotnya kemampuan sel kita untuk menjaga homeostasis, "keterawatan sel". Dalam proses merosot itu, kerusakan bertumpuk-tumpuk dalam tubuh kita, sampai akhirnya kita sakit dan mati.

Itu sebabnya pelbagai riset dilakukan menelaah ARD’S, penyakit-penyakit yang berkaitan dengan proses menua. Manusia akan lebih panjang umur, tapi panjang pula deretan problemnya. Manusia terancam sebuah silver tsunami, "tsunami tuwir": gelombang jumlah penduduk berusia tua yang bisa menghancurkan banyak hal. Semacam kecemasan ala Malthus kini berkembang di kalangan pakar demografi: penduduk bumi akan berlipat ganda jumlahnya, bukan karena bayi, melainkan karena umur manusia bertambah panjang.

Di tahun 2013, dunia dihuni 7,9 miliar manusia. Di tahun 2030: 8,5 miliar. Sebagian besar pertumbuhan ini berasal dari sembilan negeri, antara lain Indonesia, yang kaum "manula"-nya bertambah banyak. Sembari orang-orang yang berumur di atas 60 tahun akan jadi dua kali lipat di tahun 2050, akan kian sedikit generasi muda yang bakal menggantikan mereka.

Dan perlahan-lahan, dunia akan mengubah percakapannya tentang "tua"....

Kelak tak bisa lagi dipergunakan kata "kakek-nenek", sebab anak dan cucu akan makin tak tampak. Adat-istiadat untuk bersikap khusus kepada orang sepuh akan hilang. Ukuran kecantikan dan kegantengan mungkin tak akan seperti selama berabad-abad terakhir-kecuali jika rekayasa wajah dan tubuh bisa membuat manusia berumur 70 tahun tetap seperti 17 tahun. Jenis dan cara kerja akan jauh berbeda dari yang berlaku kini untuk berproduksi-bahkan pengertian "kerja" akan makin tak ada hubungannya dengan "membanting tulang".

Tapi bukan hanya itu yang akan terjadi. Akan menangkah manusia, jika ia tak jadi tua dan tak niscaya mati, seperti diramalkan dan dirancang para penggerak HIP?

Di tahun 1957 sutradara Swedia, Ingmar Bergman, menciptakan sebuah film yang dikenang panjang di dunia kritik sinema, Det sjunde inseglet, yang dalam versi Inggris disebut The Seventh Seal ("Tera Ketujuh").

Dalam warna hitam-putih, kontras antara hidup dan kematian dominan di film ini: di Swedia Abad Pertengahan, seorang kesatria dan pembantunya pulang dengan letih dari Perang Salib. Menempuh wilayah yang punah oleh wabah besar, dalam perjalanan itu, sang kesatria, Antonius Block, ditemui Maut. Dengan paras pucat pasi dan jubah hitam pekat, Maut muncul untuk mencabut nyawanya. Block mencoba mengelak. Ia menantang Maut bermain catur-dan Maut setuju: Block bisa terus hidup selama pertandingan catur berlanjut dan ia tak dikalahkan.

Tapi pada akhirnya kesatria itu kalah.

The Seventh Seal adalah metafor tahun 1950-an yang segera asing. Sebab jika benar yang diperhitungkan Ray Kurzweil, permainan catur antara manusia dan Maut akan berakhir terbalik. Bahkan permainan itu tak akan ada. Motif kengerian Tera Ketujuh akan absen: tak akan ada Wabah, tak ada lagi imajinasi suram Kitab Wahyu dalam Injil, malah tak akan ada lagi agama. Agama, dalam perspektif Bergman, hanya penebar narasi yang suram dan bengis.

Human Immortality Project sepenuhnya bertolak dari optimisme yang murtad, warna cerah yang tanpa cahaya ilahi, dan saya tak bisa menjawab: jika kelak mati tak ada lagi, agama tak dipercaya, dan Tuhan ditertawai, di manakah kebahagiaan? Caligula dalam lakon Camus ingin mendapatkan bulan. Block dalam film Bergman ingin mengenang saat ketika ia makan bersama sebuah keluarga aktor teater jalanan: "Ini tanda yang memadai-yang akan cukup bagiku."

Hal-hal hangat yang sungguh tak luar biasa sebenarnya-tapi berarti karena hadir dalam arus yang tak jelas, yang tragis: hidup menuju mati, hidup yang hanya "menunda kekalahan".

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus