Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Melaka dan sejumlah amsal

Sejarah kerajaan melayu/melaka dimulai tahun 1394. raja pendirinya paremaswara. yang berganti nama menjadi sultan iskandarsyah. kerajaan runtuh jaman sultan mahmudsyah 1488-1511. (kl)

9 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI kisah purba. Pada 1394 Paremaswara membangun Kota dan Kerajaan Melaka. Dalam Commentarios de Grande Alfonso d 'Albuquerque, 1557, diceritakan, Paremaswara adalah menantu Raja Bharatamurel dari Jawa. Penulis Emmanuel Godinho Eredia dalam Malacca, 1615, menuturkan, Paremaswara diusir mertuanya karena terlibat percobaan kudeta menggulingkan sang mertua. Paremaswara lari ke Palembang. Tak lama di sini, ia menyeberang ke Temasik Singapura sekarang. Setelah banyak pengikut, ia berhasil membunuh Tamagi, syahbandar Siam. Sebentar berkuasa di Temasik, ia lalu lari ke Muar, kawasan Johor sekarang, mengelakkan pengejaran raja Siam. Bersama pengikutnya, yang umumnya "orang laut" Proto Melayu, Paremaswara hijrah ke Sening Ujung. Di tepi sungai dekat laut inilah ia bangun kerajaan baru: Melaka. Setelah lima tahun, Paremaswara yang Hindu masuk Islam, dan namanya ditukar menjadi Sultan Iskandarsyah. Ia mangkat dalam usia 80 tahun. Anaknya, Raja Ahmad, naik tahta dan bergelar Sultan Megat Iskandarsyah. * * * Di belahan timur Sumatera, sampai 1505, Imperium Melaka meliputi Rokan, Siak, Kampar, Inderagiri, dan Jambi. Di Semenanjung - di timur dan utara - ia melindungi Riau, Temasik, Johor, Pahang, Trengganu, Kelantan, Kedah, Bruas, Kelang, dan Pattani. Tapi kejayaannya pudar dan runtuh ketika Mahmudsyah bertahta (1488-1511). Ia, sultan ke-8 dan terakhir, terkenal sebagai sultan bermata ranjang, Don Juan asli Melayu. Permaisuri pertama Mahmudsyah adalah sepupunya sendiri, Putri Wenang Sari, anak Sultan Muhammad dari Pahang. Wenang Sari melahirkan Raja Ahmad, calon putra mahkota. Kemudian Mahmudsyah memburu istri Tun Biajid, anak Laksamana Hang Tuah. Tak puas dengan perempuan ini, sang raja mengganggu pula Tun Dewi, istri Tun Sandang. Belakangan Sandang dibunuh Raja dengan mengupah Tun Isap, pengawal keraton. Tak cukup dengan selir-selir yang sudah ada, Mahmudsyah - setelah kematian Wenang Sari menikahi Putri Onang Kening dari Kelantan. Dari rahim putri Kelantan ini lahir tiga anak. Lalu Mahmudsyah menguber Tun Kudu. Gadis ini putri Sri Nara Diraja, menteri keuangan dan paman Sultan sendiri. Setelah itu, hati Mahmudsyah terguncang mendengar kabar kecantikan Putri Gunung Ledang, yang menetap di pedalaman Johor. Sang putri bersedia menikah dengan Sultan asal ia mampu memenuhi syarat: menyediakan tujuh mangkuk nyamuk, darah Raja setempayan, ditambah darah Putra Mahkota Raja Ahmad. Mendengar syarat yang dibawa pulang Hang Tuah yang uzur tapi masih diutus untuk meminang itu, Mahmudsyah terpaksa mengurungkan niat. Setengah riwayat menyebutkan, kisah Putri Gunung Ledang itu fiktif, dengan maksud memperolok birahi sang sultan. Mangsa baru yang diincar Sultan, Tun Teja Ratna Benggala, anak Sri Amar Bangsa Diraja, bendahara Pahang. Tahu Teja sudah bertunangan dengan Sultan Jamil, juga dari Pahang, Sultan mengutus Hang Nadim, putra Almarhum Hang Tuah menculik Tun Teja. Semangat Raja tidak berhenti meski ia sudah menikahi Tun Teja. Malah Mahmudsyah bersaing keras dengan Raja Zainal, adiknya sendiri dari lain ibu. Karena banyak wanita gemulai yang seleboran kepada Zainal, Sultan menyuruh Hang Berkat menikam adiknya itu dengan keris, dan tewaslah ia. Tapi Mahmudsyah naksir Tun Fatimah pula. Wanita molek yang bersuamikan Tun Ali ini sepupunya sendiri. Ayah Fatimah, Tun Mutahir, selain perdana menteri Melaka, juga pamannya. Dengan menuduh Mutahir mau berbuat makar, Mahmudsyah memerintahkan Laksamana Khoja Hasan, menantu dan pengganti Almarhum Hang Tuah, mengeksekusi Mutahir berikut semua keluarganya - kecuali Tun Fatimah yang beranak satu. Tun Fatimah jadi istri keempat. Dan Sultan mengangkatnya sebagai raja perempuan. Tetapi wanita ini selalu menggugurkan kandungan. "Buat apa beta beranakkan benih Sultan, kalau putra mahkota sudah ada?." Sultan Mahmudsyah berjanji. Suatu hari nanti, katanya kepada Tun Fatimah, Baginda akan menyingkirkan Putra Mahkota. Pada 11 September 1509 Melaka diserang Benggali Putih alias Portugis. Seorang perwira, Ruy de Aranjo, bisa ditawan. Dengan bantuan beberapa orang Keling, Aranjo berhasil melayangkan surat berisikan strategi pertahanan kerajaan musuh. Surat itu diterima Alfonso d'Albuquerque di markasnya di Goa, tanah Hindustan. Alfonso, penakluk Cochin, Pulau Hormuz di Teluk Persia, serta Malabar, pada 1503 diberi instruksi Raja Alfonso V mencari kawasan Timur yang makmur. Berpangkalan di kapal induk Flor de la Mar, Laksamana d'Albuquerque memimpin sendiri penyerangan kedua. Pada 10 Agustus 1511 Kerajaan Melaka ditaklukkannya. Dan Alfonso memerintahkan Pedro Marcarenhass memimpin 500 serdadu Portugis, atau Feringgi menurut orang Melayu, mengejar Sultan. Sultan Mahmudsyah bersama kerabat dekatnya telah mengungsi ke Pulau Bintan. Dan, di Bintan itulah Raja Ahmad dibunuh ayahnya sendiri. Sebagian orang menyebutkan, Mahmudsyah membunuh anaknya karena memenuhi janjinya kepada Tun Fatimah. Raja Ali, hasil perkawinan Mahmudsyah dengan Fatimah, dinobatkan di Johor sebagai Sultan Alauddin Riayatsyah II. Keturunan Raja Ali inilah yang sampai sekarang silih berganti dipilih menjadi sultan di Johor. Tun Fatimah meninggal di Kampar, tanah Sumatera. Lalu disusul Sultan Mahmudsyah, yang juga berpulang di sana pada 1528. Tetapi Keraton Melaka sudah hancur oleh Portugis. Dan di atasnya dibangun Benteng Porta de Santiago, berdiri di bukit yang sekarang bernama St. Paul Hill, menghadap ke Selat. Pada 14 Januari 1641 Melaka direbut Belanda, dan benteng dibabat. Pada 1824 Belanda menukar Melaka dengan Bengkulu yang dikuasai Inggris. Sisa gerbang Porta de Santiago dibiarkan, dan sekarang menjadi simbol Bandar Melaka. * * * Pada 11 s/d 15 Maret ini, di Tanjungpinang, Riau, berlangsung Seminar Sejarah dan Kebudayaan Melayu Raya yang disponsori Departemen P dan K. Akan banyak ahli yang hadir, sambil meresmikan gedung Melayunologi. Dan hari itu, selesai mendekam di Museum Melaka di tubir utara St. Paul Hill, saya melihat Melaka yang terbuka, telanjang, seolah tanpa masa lalu, tanpa wibawa. Memang aneh kalau ada orang yang masih ingin mengulang masa lalu, ibarat memutar pita rekaman. Yang diinginkan barangkali sejumlah amsal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus