"NIKARAGUA dapat menjadi Vietnam tahun delapan puluhan," ujar Daniel Ortega lima tahun lalu. Sang Comandante bereaksi begitu karena Amerika terus berusaha menonjok negara kecil berpenduduk 3,2 juta di Amerika Tengah itu. Tampaknya Ortega mencari simpati. Cuma dramatisasinya terasa berlebihan. Belakangan prediksi itu seakan mendapat bobot tambahan. Di depan pertemuan Organisasi Negara-Negara Amerika Tengah (OAS) bulan Oktober tahun lalu, Reagan melontarkan suara keras. "Selama hayat dikandung badan, saya akan bersuara, bekerja, berupaya, dan berjuang demi kepentingan para pejuang kemerdekaan Nikaragua," katanya. Maksudnya jelas: pemberontak Contra. Kini, negara superkuat yang perkasa itu mengirimkan 4.000 anggota pasukan para ke Honduras, jiran sebelah rumah Nikaragua. Alasannya, untuk latihan dan memberi "isyarat" bagi pemerintah dan rakyat di Amerika Tengah. Pemerintah Sandinista Nikaragua dianggap telah melanggar kedaulatan Honduras karena pasukannya menyusup ke sana, memburu pemberontak Contra yang membangun basis pertahanan di Honduras. Tak pelak lagi, buat Ortega, ini ancaman serius. Ia pun menggalang kekuatan, menghimpun rakyat, dan siap tempur. Que sera, sera, apa yang akan terjadi, terjadilah. Rakyat Nikaragua seakan membaca kembali lembaran sejarah masa lampau yang getir dan sangat menusuk. Tragedi masa lampau tak boleh terulang, walau untuk itu bayang-bayang perang yang menyeringai harus mereka hadapi. Tahun 1855, seorang petualang dari Amerika Utara, William Walker, diundang ke Nikaragua oleh kaum Liberal untuk membantu mereka dalam perang saudara menghadapi kaum Konservatif. Begitu ia tiba di sana, tamu terhormat ini memaklumkan dirinya menjadi presiden. Walker yang tak tahu diri ini akhirnya terjungkal. Persoalan tidak selesai sampai di situ. Pada 1909 marinir Amerika menyerbu ke negara kecil itu. Serbuan diulangi tahun 1912 dan 1926. Invasi ini dilancarkan ketika Amerika melakukan diplomasi big-stick dan setiap serbuan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan politik dan ekonomi Amerika di Amerika Tengah. Seorang tokoh petani, Augusto Cesar Sandino, tidak rela melihat tanah airnya diperlakukan seenaknya seperti itu. Tahun 1927, setelah marinir AS mendarat lagi, ia bertekad meledakkan perang nasionalis untuk mengusir pendatang yang tidak diundang itu. Pasukan Sandino, yang dipersenjatai dengan pentung, machete (parang), dan senapan, berhasil menahan kekuatan marinir Amerika selama enam tahun. Pasukan Amerika yang bersenjata lengkap dan terlatih itu ternyata tak mampu menundukkan para pejuang yang dipimpin Sandino. Marinir Amerika terpaksa memilih jalan lain. Mereka menyerahkan kekuasaan kepada Pengawal Nasional Nikaragua yang mereka latih. Kebetulan, Pengawal Nasional ini dipimpin seorang politikus yang sedang naik daun, Anastasio Somoza Garcia. Somoza mendapat kedudukan itu hanya karena ia dapat berbahasa Inggris dan teman-temannya orang-orang penting di Kedutaan Besar Amerika. Tahun 1934 kolaborator ini mengundang Sandino ke Managua (ibu kota Nikaragua) untuk berunding. Di sanalah Sandino terbunuh. Gerakan nasionalis radikal pun berakhir setelah Sandino berpulang. Tetapi, itulah awal kebangkitan dinasti Somoza. Selama 42 tahun, tiga penguasa yang menyandang nama Somoza berkuasa di Nikaragua, seakan-akan negeri itu milik keluarga mereka. Pengawal Nasional pun tidak ubahnya tentara keluarga. Selain tamak, penguasa Somoza juga sangat pro-Amerika. Tapi jangan dikira perangai mereka disenangi pelindungnya. Somoza pertama dalam dinasti itu sangat memuakkan Presiden Franklin Delano Roosevelt. Jangan terkejut kalau ia mengatakan, "He's a son of a bitch, but he's ours." Namun, yang paling celaka barangkali Anastasio Somoza Debayle, orang terakhir dalam dinasti itu. Penjilatannya terhadap Amerika benar-benar membuat orang geleng kepala. Tanpa rasa malu sedikit pun, ia memasang gambar duta besar Amerika di mata uang 20 cordoba, mata uang yang digunakan dalam transaksi jual beli di negara berdaulat itu. Ternyata, sejarah memilih jalan lain. Tahun 1961, Carlos Fonseca Amador, Tomas Borge Martinez, dan Silvio Mayorga bertemu di Honduras dan membentuk Frente Sandinista de Liberacion Nacional. Tentara gerilya nasional ini menghimpun petani, mahasiswa dan pekerja untuk membalas dendam kematian Sandino, dengan merontokkan rezim Somoza. Mereka melancarkan revolusi sosial untuk mengakhiri keterbelakangan bangsa itu. Setelah hampir 20 tahun berjuang - dengan pertempuran di hutan, pemogokan umum, penculikan, pengasingan, pembunuhan, dan perang saudara yang menelan korban jiwa 50.000 orang - barulah rezim Somoza rontok. Di mata pemerintah Sandinista, Amerika di masa lampau itu berasyik-masyuk dengan dinasti Somoza dan menutup mata terhadap kepentingan negeri itu. Luka dendam Sandinista sebenarnya tergores sejak itu. Dan luka ini melebar, karena Amerika terus membantu sisa-sisa pengikut diktator Somoza yang tergabung dalam Contra. Pemberontak inilah yang menggalang kekuatan dan membangun basisnya di Honduras. Buat Amerika, soalnya bukan itu. Somoza boleh saja tumbang dan Comandante Ortega dan teman-temannya tampil ke puncak. Asal saja, kiblat tidak beralih dan warna merah tidak berkibar di sana. Di pihak lain, Ortega dan Sandinista telah menentukan pilihan yang tidak dapat ditawar lagi. Buat Amerika itu sama artinya dengan munculnya bahaya sosialis baru di pelupuk matanya. Bekas diplomat Amerika, Wayne Smith, membuat perumpamaan yang menarik. Yang berlangsung selama ini antara Nikaragua dan Amerika tidak ubahnya kisah Moby Dick dengan pemeran utama Presiden Reagan sebagai Kapten Ahab. Tapi, tampaknya, siapa pun yang akan menjadi pengganti Reagan nanti, peran itu akan tetap dipegang Amerika. Karena itu, perkembangan terakhir dalam hubungan kedua negara itu cukup menarik untuk diamati. Akankah Nikaragua menjadi Grenada berikutnya? Benarkah ramalan Ortega, bahwa Nikaragua akan menjadi Vietnam tahun delapan puluhan? Untuk sementara, tampaknya, ke hadapan kita hanya dapat disodorkan setumpuk prediksi, asumsi, atau analisa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini