KEPASTIAN kedatangan Presiden Soeharto ke kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pekan lalu itu ternyata membawa kesejukan. Silang pendapat sekitar perebutan kursi rektor untuk sementara diredakan. Maka, Badan Wakaf, sebagai institusi tertinggi di UII, menunjuk rektor lama Profesor Zanzawi Soejoeti, yang telah habis masa jabatannya, menjadi penjabat rektor hingga akhir bulan ini. Penetapan Badan Wakaf ini dikeluarkan terutama memang untuk menyambut Pak Harto, yang memberikan amanat khusus menyambut Dies Natalis ke-50 UII, 11 Januari ini. "Kan tidak lucu menyambut kunjungan Presiden tanpa ada pimpinan," kata Profesor Zaini Dahlan, Ketua Badan Wakaf. Dan keputusan Badan Wakaf ini rupanya dipahami semua pihak. "Kami sepakat menjaga situasi kampus menjelang kunjungan Presiden Soeharto," kata Mat Amat, seorang anggota Dewan Permusyawaratan Mahasiswa UII. Ia menjamin bahwa selama kunjungan Kepala Negara itu tak akan ada aksi demo dari mahasiswa UII. Mereka, katanya, umumnya merasa bangga akan kehadiran Pak Harto. Yang ia khawatirkan, siapa tahu justru hal itu datang dari mahasiswa atau pihak di luar UII. Acara peringatan 50 tahun usia kampus universitas swasta Indonesia tertua di Jalan Kaliurang, Yogya, itu tunggal, yakni mendengarkan amanat Pak Harto. Sudah cukup lama Sekretariat Negara mengirim surat tentang kepastian kesediaan Kepala Negara. Dan sejak itulah pimpinan UII memutuskan untuk "kompak" mempersiapkan kedatangan Presiden Soeharto. Kunjungan Presiden Soeharto kali ini tentu mengingatkan sejarahnya selama 50 tahun itu. Ketika kampus ini dibuka kembali di Yogya pada tahun 1946 lalu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pun hadir. Ketika didirikan tahun 1945, perguruan tinggi Islam tertua ini bernama Sekolah Tinggi Islam (STI). Adalah Masyumi yang pertama mengeluarkan maklumat tentang pentingnya mendirikan STI pada tahun itu. Dalam pertemuan dengan sejumlah organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU, disepakatilah untuk membentuk panitia "Perencana STI" yang diketuai Moh. Hatta. Dan benar, perguruan tinggi Islam itu dibuka pada 27 Rajab 1364 Hijriyah atau 8 Juli 1945 di Gondangdia, Jakarta. Mahasiswanya yang pertama cuma 14 orang. Namun, ketika ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogya, kampus itu pun ikut mengungsi ke sana. Perkuliahan dibuka kembali tahun 1946, dihadiri Soekarno-Hatta. Bahkan Wakil Presiden Moh. Hatta, yang waktu itu juga sebagai ketua dewan kurator, memberikan pidato pembukaan berjudul "Sifat Sekolah Tinggi Islam". Nama STI lalu diubah menjadi University Islam Indonesia (UII) tahun 1948. Ia membawahkan Fakultas Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Fakultas Agama diambil alih oleh Departemen Agama dan dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) -- cikal bakal IAIN tahun 1950. Dan Fakultas Pendidikan pun "diminta" oleh Universitas Gadjah Mada -- dalam perkembangan kemudian menjadi IKIP Negeri Yogyakarta seperti yang ada sekarang ini. Adapun UII, sebagai perguruan tinggi swasta, terus berkembang. Kini, dengan tujuh fakultas, ia mempunyai 11.000 mahasiswa dan 286 dosen tetap. Namun, yang juga tercatat dalam sejarahnya adalah serangkaian konflik di dalamnya. Prahara datang sekitar tahun 1960. Seperti diakui oleh Muhammad Mahfud, Pembantu Rektor I, waktu itu rektor Kasmat Bahuwinangun, seorang tokoh Masyumi, bentrok dengan Ketua Badan Wakaf Prof. Fatchurrahman, seorang tokoh dari NU. Praktis, pimpinan UII terbelah dua. Konflik yang membawa bendera organisasi ini baru mereda setelah rektor dipegang orang netral seperti Prof. Sardjito, dan Ketua Badan Wakaf di tangan tokoh Masyumi Sukiman. Namun, riak kecil silang selisih pun terus mewarnai perjalanannya. Kemelut yang kini masih hangat diwarnai pendapat bahwa senat UII tak berhasil memilih rektor baru. Dari enam calon pengganti Zanzawi Soejoeti yang diajukan, ternyata tak ada yang mau menjadi rektor. Mereka adalah Zanzawi sendiri, Zaini Dahlan (bekas Rektor IAIN Yogya), Kusnadi Hardjasoemantri (pernah menjadi Rektor UGM), Djazman Alkindi (bekas Rektor UMS Solo), dan Syafaruddin Alwi (dosen senior yang pernah menjadi Pembantu Rektor II UII). Adapun calon Imaduddin Abdurrahim (salah satu pendiri ICMI), yang diusulkan oleh mahasiswa, juga tak lolos karena senat tak bisa memastikan kesediaan Imaduddin. Kenapa calon-calon unggulan itu tak bersedia dipilih? Menurut Mahfud, penolakan itu tidak lepas dari keadaan intern UII yang selalu dirundung konflik. Namun, dalam sejarahnya, dari konflik ke silang selisih itulah UII tumbuh menjadi besar. "Sebab, suasana bebas yang mengakibatkan beda pendapat itu justru menjadi salah satu cara pengawasan terhadap pejabat UII agar tak melakukan penyelewengan," katanya. Dengan serangkaian konflik itu, menurut Afan Gaffar, Ketua Panitia Dies Natalis, dalam usianya yang ke-50 ini UII ternyata belum dapat mewujudkan cita-citanya mendirikan perguruan tinggi Islam yang ideal. "Tradisi keilmiahannya belum tampak," katanya. Padahal, sebenarnya tradisi akademis itulah yang menjadikan universitas bisa menjadi besar. "Waktunya habis untuk konflik intern terus," katanya.Agus Basri (Jakarta) dan R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini