Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ashadi Siregar
BERTURUTAN berbagai stasiun televisi menampilkan berita tentang remaja siswa sekolah atau buruh pabrik (umumnya perempuan) yang meronta-ronta, menangis, menceracau, melotot, dan menunjukkan berbagai tingkah tanpa kendali. Peristiwa itu tersebar di berbagai daerah Indonesia. Media menyebutnya ”kera-sukan” atau ”kesurupan”.
Jika tingkah laku yang tampak itu disebut kerasukan, boleh dibilang bangsa ini juga sama halnya. Banyak tindakan seperti tanpa kendali. Apakah bukan kerasukan namanya- jika segerombolan penduduk tega mengeroyok, bahkan sampai membakar tubuh manusia, yang kebetulan dituduh seba-gai maling ayam? Orang-orang yang tega membakar rumah tetangganya hanya karena dianggap menganut ajaran dari taf-sir yang berbeda atas agama yang sama. Polisi yang menyerbu ke kampus mengejar-ngejar mahasiswa sembari menghancurkan perabotan dan kaca-kaca jendela. Demonstran yang melemparkan bongkah batu sebesar semangka ke kepala petugas yang sudah terkapar. Rombongan yang menjerit-jerit menyebut nama Tuhan sembari menghancurkan tempat usaha dan properti warga lainnya. Keroyokan, tawuran antarkelompok atau perang antarkampung, yang merebak di mana-mana.
Kerasukan atau tidak, banyak tindakan di luar no-rmal ter-jadi di depan mata. Tindakan sebagai bagian dari r-itus seperti mengunyah beling atau menusuk-nusuk pipi sendi-ri—biasa disebut trance—adalah kerasukan yang m-emang diniati. Tapi bagaimana dengan korban SUTET-nya PLN yang mogok makan sembari menjahit mulutnya? Atau pe-rempuan pedagang kecil yang menjerit-jerit saat dig-usur Tramtib? Di kala normal, tak mungkin ibu itu sanggup mem-buka kain-nya di muka umum mempertontonkan aurat yang paling disucikan.
Perbedaan tingkah yang disebut kerasukan dengan tindak-an lainnya sebenarnya hanya dari penyebabnya. Tindak-an di luar kendali, yang bersifat agresif dan barbar, tidak disebut kerasukan, sebab mendapat pembenaran atas nama komunalisme bersifat pragmatis maupun kemuliaan agama. Sikap ”pokoknya...” atas kebenaran subyektif menjadi dasar untuk ”kerasukan”. Sedangkan tindakan lainnya, diakibatkan intimidasi, dipandang hanya sebagai kekalapan. Yang tidak jelas penyebabnya disebut kerasukan roh atau makh-luk- halus. Untuk melawan roh perasuk atau penyurup, harus turun tangan ulama dengan doanya, atau paranormal dengan mantra dan sesajinya.
KAMBING hitam roh, arwah, atau setan, atau faktor non-empiris dalam nalar sebab-akibat, mendominasi banyak program hiburan di televisi. Pada satu sisi, hantu sebagai tokoh cerita, atau plot cerita mistisisme dan kematian yang berbalas atau kisah seputar mayat (necromancy), menjadi komoditas bagi semua stasiun televisi komersial belakang-an ini. Pada sisi lain, peran roh dan sebangsanya telah pula menjadi sumber nilai religiositas bagi para ulama yang menjadi pendukung program hiburan tersebut.
Logika sebab-akibat non-empiris ini sebenarnya bukan hanya dimonopoli dunia hiburan. Disadari atau tidak, jur-na-lis yang berurusan dengan fakta juga bersikap sama. K-a-renanya, terbaca teras berita berbunyi: ”Entah setan mana yang merasukinya sehingga seorang kakek tega mencabuli bocah bongsor Mawar (bukan nama sebenarnya)…” Jadi, si kakek hanya sarana bagi setan. Dalam kaidah jurnalisme, berita harus seimbang dengan prinsip cek (pada satu pihak) dan recek (pada pihak lainnya). Jurnalis tentunya tidak mungkin minta konfirmasi kepada si setan yang punya libido.
Media jurnalisme diharapkan menampung fakta sosial, lalu menyampaikannya sebagai berita jurnalisme. Agaknya istilah berita di sini perlu diberi huruf kapital, untuk membedakan dengan berita hiburan atau infotainment. Dalam jurnalisme, hiburan hanya untuk human interest story (ki-sah kemanusiaan). Fungsi berita bukan untuk menghibur, melainkan menjadikan publik dekat ke realitas sosial. Di si-ni media jurnalisme sebagai zona bebas yang digerakkan de-ngan rasionalitas bukan dengan takhayul (irasionalitas), rasionalitas dalam menghadapi realitas di satu sisi dan di sisi lain intensi untuk menjaga rasionalitas khalayak.
Rasionalitas hanya dapat dipunyai secara otentik dan personal. Ini ditempuh dengan pembebasan (liberation), yaitu kebebasan dari (freedom from) kekuasaan yang membelenggu individu, dan kebebasan untuk (freedom for) berpikir. Tindakan sebagai wujud interaksi sosial bertolak dari rasio-nalitas manusia bebas. Sebaliknya, komunalisme yang sudah pada tingkat merasuk melahirkan manusia tanpa kesa-daran personal. Manusia yang digerakkan oleh kekuasaan komunal bersifat eksternal hanya menjadi otomaton, tindak-annya tidak memerlukan pertimbangan rasional.
Seluruh upaya peradaban pada dasarnya membangun ma-nusia secara personal, lewat pendidikan yang memproses- manusia dalam rasionalitas atas tiga dimensi: kebenar-an dan kepalsuan, estetika dan keburukan, serta kesusila-an dan kedursilaan. Kemampuan rasionalitas ini menjadi da-sar- dalam interaksi sosial. Karenanya, kolektivitas warga- ma-syarakat merupakan kehidupan ambil bagian (sharing) di antara individu rasional, dengan acuan nilai bersama (shared values).
REFORMASI agaknya sudah padam. Boleh dibilang tak ada lagi gaung untuk membangun civil society yang ditandai melalui dua sisi. Pertama, berkurangnya peran negara dalam memerintah (government) dengan penggunaan ke-kuasaan (power), dan semakin besar peran mengurus (go-vern-ance) melalui pelayanan publik (public services) bagi war-ga. Kedua, membesarnya peran institusi masyarakat da-lam dinamika politik, dan semakin banyak warga masuk ke dalam institusi negara. Dengan begitu, birokrasi negara le-bih berperan dalam operasi pelayanan publik, dan insti-tusi negara digerakkan pejabat temporer dari masyarakat yang mengeluarkan hukum dan kebijakan publik untuk kepenting-an pragmatis warga. Ini yang membedakan dengan negara dan birokrasi Orde Baru yang digerakkan oleh pegawai nege-ri dan militer.
Secara ideal, hukum dan kebijakan publik dari institusi ne-gara, dan etika sosial dari institusi sosial, masing-ma-sing menjadi sumber norma bagi warga dalam tertib sosial (social order). Jika proses sosial dalam landasan etika sosial- da-pat menciptakan tertib sosial, dengan sendirinya tidak di-perlu-kan campur tangan negara. Sebaliknya, banyaknya kon-flik di antara warga yang tidak dapat diselesaikan dalam kerangka masyarakat, tetapi harus diselesaikan dalam ke-rangka negara, menunjukkan gagalnya proses negosiasi yang menjadi ciri pokok dalam civil society.
Kondisi proses sosial yang gagal ini diperparah pula ma-nakala negara yang digerakkan pejabat temporer sem-akin menonjol dalam mengeluarkan hukum dan kebijakan nega-ra yang berkonteks pada moral sosial. Institusi negara akhir-nya lebih berperan sebagai pengawas moral (termasuk sek-sual). Alih-alih menjalankan fungsi utama dengan meningkatkan kebijakan untuk pelayanan publik, energi lebih banyak dipusatkan untuk mengurus pornografi dan pornoaksi melalui undang-undang (nasional) dan peraturan daerah di berbagai kota/kabupaten.
BOLEH jadi moral warga masyarakat sekarang bertambah lemah dibanding masa lalu. Kendati tampilan religio-sitas melalui ciri fisik semakin luas, di balik itu ternyata laki-laki masa kini lebih mudah terbangkit berahinya akibat rangsangan eksternal dibanding laki-laki pada masa setengah atau seperempat abad yang lalu. Sehingga dipandang perlu ada undang-undang yang mengatur perilaku pihak yang potensial sebagai pemicu berahi. Di satu sisi masyarakat mengalami kesurutan (withdrawal) di tengah arus besar teknologi dan media massa komersial, di sisi lain gampang ”dirasuki” roh, klaim kebenaran agama yang eksklusif, dan kebenaran pragmatis yang diabsolutkan.
Soal ”sesuatu” yang merasuki bangsa ini hanya dapat di-pahami dari ”kekosongan” yang berlangsung pasca-Orba. Ter-tib sosial Orba ditegakkan melalui kekuasaan yang meng-ikat warga, melalui penataran dan tindakan aparatus negara, baik secara terbuka maupun gelap (hidden), bukan ka-rena acuan nilai bersama warga masyarakat. Runtuhnya- kekuasaan negara Orba menyisakan ruang publik yang meng-alami anomie, dan menjadi ajang rebutan berbagai institusi sosial. Sejumlah organisasi agama, yang sebelumnya ditekan dan menjadi sasaran intelijen Orba, mengambil pe-luang yang terbuka lebar. Perebutan dominasi moral dilakukan dengan berbagai metode, secara formal melalui hukum dan kebijakan negara, dan secara informal dengan penetra-si- ke berbagai lembaga pendidikan maupun kekerasan di ruang- publik.
Dari kerangka pemikiran ini agaknya para guru dan orang tua yang dibingungkan dengan anak-anaknya yang kerasuk-an ”roh” perlu mencari jawaban rasional. Bukan surut ke ma-sa lalu dengan mantra dan sesaji, tetapi dengan pendekatan akademik, yaitu meneliti pengalaman-pengalam-an anak didik setidak-tidaknya setengah atau setahun ke belakang, un-tuk mendeteksi pola-pola yang sama. Baru dari sini diberikan treatment psikologis atau psikiatris guna memulihkan kekisruhan personalitas.
Berbagai kegiatan ekskul (ekstrakurikuler), yang be-la-kang-an ini sering masuk ke lingkungan sekolah dengan penyelenggaranya bukan guru sekolah sendiri, dideteksi- me-ng-gunakan metode brainwashing yang menanamkan ko-munalisme. Brainwashing semacam ini perlu dipertanya-kan relevansinya bagi anak didik yang sesungguhnya perlu mengembangkan personalitas dan kreativitas individualnya. Begitu pula para buruh perempuan di pabrik, atau dalam skala besar bangsa ini, pun perlu membangun rasionalitas dalam menghadapi tekanan brainwashing untuk komunalis-me yang datang dari berbagai sumber.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo