Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya keputusan itu d-i-ke-luar-kan, harga BBM naik, relatif tinggi sekali kenaikannya. Sejak 1 Oktober, harga eceran minyak tanah menjadi Rp 2.000, solar Rp 4.300, dan bensin premium menjadi Rp 4.500.
Di permukaan yang terlihat adalah per-nyataan tidak setuju dan penyesal-an. Mahasiswa dan buruh berdemonstra-si menentang, Presiden Yudhoyono sen-diri pun menyatakan sedih karena harus melakukan pilihan yang dikatakannya pahit itu.
Yang tidak terlalu tampak di permuka-an adalah pengakuan bahwa menurut per-hitungan ekonomi kenaikan harga BBM tak dapat dielakkan lagi saat ini. Tidak bisa disangkal bahwa beban subsidi BBM tak mungkin lagi ditanggung negara, apalagi dengan melonjaknya har-ga minyak bumi dunia. Karena itu subsidi harus dikura-ngi, dan mayoritas wakil rakyat di DPR setuju. Subsidi berkurang, harga BBM harus naik. Banyak yang menje-rit dan menyesalkan tingginya kenaikan, tapi harga sukar bi-sa digeser, karena penentuannya bergantung erat pada sisa subsidi yang disetujui DPR.
Menaikkan harga tak pernah merupakan tindakan po-puler. Yang pro atau terpaksa setuju dengan kenaikan harga BBM—termasuk pemerintah dan DPR—tidak berani me--nyuarakan pembelaannya selantang yang menentang kenaikan. Adapun tingginya kenaikan dikatakan relatif, sebab perbedaan harga bisa dilihat dari dua sisi: diban-dingkan harga BBM sebelumnya, dan dipandang dari harga BBM sesungguhnya, yaitu harga pasar tanpa subsidi. Kenaikan harga minyak tanah Rp 2.000 dari Rp 700, sebesar 185 persen, memang luar biasa. Namun, dibanding harga pasar yang Rp 6.000 lebih, harga baru minyak tanah itu baru sepertiganya saja.
Meskipun jauh di bawah harga pasar, harga baru untuk minyak tanah itu memang terasa amat tinggi bagi konsumennya, terutama rakyat berpenghasilan kecil. Jelaslah, pro dan kontra kebijakan harga BBM juga disebabkan perbedaan titik berat dalam menilai. Yang satu menekankan pada akibat kenaikan harga, yang lain pada sebabnya subsidi dicabut. Akibat jangka pendek—biaya hidup meningkat, daya beli turun—mengesankan bahwa kebijakan ini tidak pro-rakyat miskin. Karena itu lalu protes disuarakan.
Yang lain berpendapat, harga naik karena subsidi harus dicabut, agar anggaran negara bisa ditopang, supaya ekonomi tidak merosot. Sekarang Indonesia adalah negeri pengimpor minyak, produksi tak mencukupi dan cadangan minyaknya terbatas; negara tak mungkin lagi mempertahankan kebijakan harga BBM murah dengan subsidi. Dalam jangka panjang, pencabutan subsidi akan menyeha-tkan ekonomi, sehingga pada gilirannya me-rupakan kebijakan pro-rakyat miskin juga. Tak mudah untuk memahaminya saat ini, memang.
Pemerintah yang bertanggung jawab adalah yang berani memutuskan untuk menyetop subsidi BBM, sekarang dan seterusnya, walau harus melawan arus. Dari asal katanya, ”ekonomi” berarti cara mengatur rumah tangga. Menjelaskan keterpaksaan mencabut subsidi dan menaikkan harga BBM juga akan dipermudah dengan ibarat sebuah rumah tangga yang sudah lama dilengkapi mobil untuk transportasi keluarga. Karena terbiasa, semua anak-anak menganggap mobil itu milik orang tuanya, dan merasa bahwa memakai mobil adalah kebutuhan primer dan jadi hak yang harus terpenuhi senantiasa.
Ternyata mobil itu bukan milik keluarga, tapi disewa dengan fasilitas perusahaan. Suatu ketika mobil ditarik karena tunjangan sewa dihentikan, sedangkan gaji tidak naik. Membeli atau menyewa mobil tidak sanggup, dana tak cukup. Konsekuensinya, anak-anak harus berjalan kaki atau naik bus kota ke mana-mana. Mereka protes, dan ada yang meraung-raung. Hak mereka serasa direnggut, dan menuduh orang tua tak peka akan kebutuhan anak-anak. Orang tua mereka memberikan penjelasan tentang kesadaran palsu yang selama ini ada, dan mengajak seluruh keluarga menyesuaikan diri dengan keadaan nyata yang lebih bersahaja.
Pemerintah pun patut menjelaskan semua konsekuensi ekonomi yang akan dihadapi, dan mengajak seluruh masyarakat menghadapi kesulitan bersama-sama. Bahwa har-ga angkutan, tarif listrik, dan harga barang-barang pada umumnya akan naik. Bahwa inflasi 2005 mungkin sekali akan mencapai dua angka, bunga kredit bisa mencapai 20 persen lebih, karena BI rate mungkin harus naik sampai 13-14 persen untuk bisa menghadang laju inflasi. Yang penting, semua kendala sudah dikenali, tinggal menjaga agar ekonomi tidak masuk ke resesi.
Presiden Yudhoyono berpikir agak panjang dalam memutuskan kebijakannya, dan lebih panjang lagi ketika memikirkan akibatnya pada kenaikan harga-harga barang. Tapi keputusannya untuk secara bertahap mulai melaksa-nakan ekonomi tanpa subsidi BBM patut dinilai sebagai tindakan tepat, berani, dan perlu. Kalaupun berlebihan jika disebut revolusioner, menyetop subsidi BBM adalah suatu kebijakan yang visioner.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo