Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OKTOBER ini genap setahun usia Kabinet Indonesia Bersatu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyo-no. Sebuah momen yang pas bagi masyarakat untuk menilai kinerja para pembantu Presiden dalam melakukan tugas yang dibebankan ke pundak mereka, terutama yang menjadi sorotan orang ramai.
Salah satu yang menjadi sorotan itu adalah kinerja Kejak-saan Agung di bawah pimpinan Abdul Rahman Saleh. Sejak terpilih menjadi Jaksa Agung, banyak yang optimistis mantan Direktur LBH ini bisa memimpin jajarannya me-merangi korupsi, memburu koruptor yang kabur ke luar negeri, dan juga membuka kembali kasus-kasus korupsi kakap yang dipetieskan oleh pendahulunya dengan secarik kertas bernama SP3 (surat perintah penghentian penyidik-an). Harapan ini tak berlebihan, mengingat selama perjalan-an kariernya, mantan hakim agung ini dikenal ”lurus” dan ”bersih”.
Apalagi perang terhadap korupsi telah dikumandangkan atasannya, Presiden Yudhoyono, sejak ia resmi diangkat. Dalam setiap pidatonya, Presiden selalu mengulang-ulang komitmennya itu. Bahkan tahun 2005 telah dicanangkan sebagai ”Tahun Pemberantasan Korupsi”, dan Pre-siden, melalui Keppres No. 11/2005, telah membentuk Tim Pembe-rantas Tindak Pidana Korupsi, yang diketuai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supanji, untuk mendukung upaya ini.
Upaya memberantas korupsi di negeri ini memang h-arus total. Soalnya hampir tak ada lagi lembaga birokrasi di ne-ga-ra ini yang bebas dari lumuran penyakit itu. Mark up atau pungutan liar sudah menjadi hal biasa dan dianggap kela-ziman. Karena itu tak perlu heran jika setiap t-ahun negeri ini selalu mendapat peringkat sebagai salah satu negeri terkorup di dunia.
Tapi, setelah setahun uapaya ini bergulir, sayangnya harapan masyarakat untuk melihat para pengemplang dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau para koruptor kelas kakap dimejahijaukan oleh kejaksaan rupanya belum kesampaian. Memang kejaksaan berhasil menye-lesaikan sejumlah kasus korupsi. Tapi, meminjam istilah Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch, kasus tersebut kebanyakan hanya kelas teri. Kasus korupsi kelas kakap yang mendapat SP3, yang jumlahnya mencapai 20 kasus, belum ada satu pun yang dibuka kembali.
Mengapa kejaksaan demikian lamban menuntaskan k-a-sus korupsi itu, mungkin karena sikap Jaksa Agung A-bdul Rahman yang cenderung terlalu berhati-hati. Sikap tak asal tindak memang tak bisa disalahkan, tetapi terlalu berhati-hati, terlalu menimbang-nimbang, dan kemudian kurang berani mengambil risiko, jelas bukan sikap yang tepat. Apalagi untuk melawan korupsi yang masuk ka-tegori kejahatan luar biasa dan para pelakunya mempunyai uang ba-nyak serta jaringan kawan yang berpengaruh. Boleh jadi, sikap hati-hati ini memang sudah merupakan ”bawaan” dari Abdul Rahman Saleh, yang tentu tak gampang diubah, tapi bukan juga tak mungkin.
Maka kesalahan tak hanya bergayut di pundak Arman—demikian Jaksa Agung ini disapa koleganya. Presiden Yu-dhoyono juga memikul tanggung jawab atas lambannya upaya pemberantasan korupsi ini. Sudah saatnya Presiden lebih keras dan lebih berani menekan jajarannya meme-rangi korupsi. Siapa pun pelaku korupsi, entah kerabat, sahabat, atau kolega satu partai Presiden atau Wakil Presiden sekalipun, wajib diusut tuntas. Dan Presiden bisa memberi-kan contoh dengan, misalnya, memberhentikan anggota kabinetnya yang diduga terlibat korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo