Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan Idham Azis sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menyurutkan harapan orang ramai terhadap reformasi di institusi penegak hukum itu. Tidak menunjukkan prestasi yang menonjol selama memimpin Badan Reserse Kriminal Polri, masa kerja Idham pun tinggal 15 bulan lagi. Dengan masa tugas yang terbatas, ia tak bisa maksimal bekerja, apalagi melakukan banyak gebrakan.
Padahal banyak pekerjaan besar yang diwariskan pendahulunya. Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, cuma salah satunya. Publik berharap polisi dapat mengungkap kasus tersebut, tapi hingga tenggat tiga bulan yang ditetapkan Presiden Jokowi, 19 Oktober lalu, polisi tidak berhasil mengungkap pelaku penyiraman itu. -Idham adalah ketua tim teknis pengungkapan kasus Novel.
Pembenahan perilaku polisi yang makin militeristik dan mengancam kebebasan sipil adalah pekerjaan rumah berikutnya. Perbuatan tercela itu terlihat setelah demonstrasi 22 Mei 2019, ketika aparat menangkapi orang-orang yang dituduh berbuat makar. Polisi juga tidak menempuh prosedur mediasi dan negosiasi dalam membubarkan massa ketika menangani unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah pada September lalu. Lima orang tewas dan puluhan luka-luka dalam insiden itu. Tindakan represif polisi jelas menghalangi kebebasan berpendapat dan berekspresi, dua pilar utama demokrasi.
Penanganan perilaku korup polisi juga tak kalah penting. Sudah menjadi rahasia umum, perilaku korup polisi telah mengakar sejak dulu. Mencari polisi bersih ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sudah menjadi olok-olok di masyarakat, tidak ada polisi jujur selain mantan Kapolri, Hoegeng; patung polisi; dan polisi tidur.
Konflik internal kepolisian dan hubungan yang tak mesra antara Polri dan Tentara Nasional Indonesia merupakan pekerjaan rumah berikutnya. Sudah lama terdengar bisik-bisik: fraksionasi di kepolisian membuat lembaga itu tak mampu bergerak lincah. Hubungan baik polisi dengan tentara terlihat hanya di permukaan—ditandai dengan seringnya Kapolri Tito Karnavian dan Panglima TNI Hadi Tjahjanto muncul bersama di publik. Tapi, jauh di akar rumput, hubungan kedua lembaga bagai api dalam sekam.
Reformasi polisi sebenarnya sudah dimulai saat pemisahan Polri dari TNI sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI Tahun 2000. Polisi sudah dijauhkan dari berbagai hal yang berbau militer sehingga diharapkan dapat berorientasi pada penegakan hukum berbasis hak asasi manusia. Namun, setelah 19 tahun reformasi, Polri tak banyak berubah, malah terkesan tak terkendali. Watak militeristik dengan birokrasi yang tertutup masih melekat pada Korps Bhayangkara.
Secara hukum, Polri langsung di bawah presiden, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Dengan aturan ini, hanya presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat yang mampu menentukan baik-buruknya kinerja kepolisian lewat penentuan Kapolri baru. Sayangnya, Presiden kerap tak mendapat informasi utuh tentang kandidat Kapolri. Posisi Idham sebagai bagian dari fraksionasi Polri tampaknya juga kurang diperhatikan Jokowi.
Presiden sebetulnya bisa mengajukan lebih dari satu kandidat kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sayangnya, mungkin dengan alasan mencegah gaduh, Presiden menetapkan calon tunggal. Sejak penetapan Badrodin Haiti (2015) dan Tito Karnavian (2016) , tak ada kompetisi melalui adu visi dan misi di antara para kandidat.
Undang-undang yang mengatur pemilihan Kapolri oleh presiden bersama DPR dengan demikian menjadi mubazir. Banyaknya kandidat memang tidak menjamin terpilihnya Kapolri yang baik. Namun, dengan kontestasi terbuka di DPR, kandidat akan dipaksa mempertarungkan ide dan pikirannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo