Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah proses pemberian suara dilakukan rakyat Indonesia pada 17 April lalu, kegaduhan muncul terkait dengan proses penghitungan dan rekap suara Pemilihan Umum 2019. Ada sejumlah hal yang dapat menjadi catatan penting: penghitungan yang memakan waktu dan melelahkan, adanya suara tidak sah, akurasi hasil penghitungan, dan kekhawatiran akan terjadinya kecurangan. Apa sebabnya dan apa alternatif solusinya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses penghitungan suara pemilu tahun ini masih manual dan dilakukan untuk lima jabatan (kecuali DKI Jakarta), yaitu Presiden RI, Dewan Perwakilan Rakyat RI, Dewan Perwakilan Daerah RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Jika satu tempat pemungutan suara (TPS) terdiri atas 300 pemilih dan semua pemilih menggunakan hak suaranya, ada 1.200-1.500 suara yang harus dihitung mulai pukul 13.00.
Dengan kondisi seperti itu, menjadi sulit dielakkan jika proses penghitungan suara di TPS selesai lewat dari pukul 06.00 esok harinya. Pasalnya, semua harus dihitung dengan cermat dan hati-hati satu per satu, dan itu pun belum termasuk apabila terjadi perbedaan pendapat mengenai sah atau tidaknya suara di antara Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) dan saksi. Penghitungan selama berjam-jam juga sangat rawan menurunkan konsentrasi, yang berpotensi mengurangi akurasi penghitungan.
Satu hal lagi yang tak kalah krusialnya adalah kekhawatiran terjadinya kecurangan. Meskipun ini sifatnya belum pasti terjadi, kemungkinan kecurangan terjadi menjadi lebih besar karena hasil penghitungan direkap berjenjang, dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat pusat.
Situasi semakin rumit lagi karena Komisi Pemilihan Umum terlihat kewalahan dengan aplikasi Situng. Masyarakat yang ingin mengetahui hasil real count versi KPU makin dibuat "penasaran" karena kecepatan KPU mengelola real count kalah cepat dibandingkan dengan kelompok sukarelawan Kawalpemilu.org.
Lantas, apa alternatif solusinya? Menurut saya, kita perlu serius memikirkan pentingnya pemilu elektronik. Pemilu elektronik yang seperti apa dan bagaimana wujudnya? Salah satu yang bisa dipertimbangkan adalah model pemilu Filipina.
Pada Mei 2016, saya berkesempatan melihat langsung bagaimana Filipina menggelar pemilu secara elektronik. Mereka melakukan pemilu serentak untuk presiden, parlemen, bahkan untuk sebagian jabatan setingkat bupati/wali kota di Indonesia. Filipina juga masih menggunakan model kertas suara, tapi penghitungan dan rekapitulasinya dilakukan secara elektronik.
Pemilih yang hadir ke TPS diberi kertas suara yang berisikan nama-nama calon untuk semua jabatan di satu kertas yang ukurannya jauh lebih kecil daripada surat suara di Indonesia. Pemilih tinggal mengarsir dengan pensil pilihan mereka. Setelah diarsir, surat suara dimasukkan ke mesin penghitung. Setiap kali surat suara dimasukkan pemilih, mesin sudah otomatis menghitung suara. Pemilih juga dapat mengecek akurasi pilihannya karena mesin mengeluarkan paper trail yang dapat dilihat pemilih dan setelah itu dimasukkan kembali ke kotak audit.
Setelah TPS ditutup, panitia TPS bersama saksi (dan pemantau) bersama-sama menyaksikan hasil penghitungan yang dirilis oleh mesin penghitung. Hasil penghitungan sudah mencakup semua jabatan yang diperebutkan dalam bentuk kertas hasil penghitungan, yang dapat diperoleh panitia dan saksi untuk dijadikan rujukan.
Panitia dan saksi kemudian menandatangani hasil penghitungan suara, dan mesin penghitung dapat langsung mengirimkan hasil penghitungan ke KPU Pusat Filipina di Manila. Mesin tersebut memiliki sinyal transmisi "jalur khusus" yang, menurut KPU Filipina, tidak dapat "dimasuki" oleh pihak yang mau mencoba-coba mengubah hasil.
Apabila terdapat kesulitan sinyal, panitia dapat segera mengirimkan chip khusus yang berisi data hasil penghitungan ke kantor panitia pemilu tingkat kota terdekat. Chip itu tidak bisa dibaca sembarangan oleh publik meskipun bentuknya mirip dengan flashdisk. Setelah data diterima panitia tingkat kota, panitia di KPU akan menerima data yang dikirim itu dan merekapnya, sehingga pada pukul 21.00-22.00 pada hari yang sama, KPU dapat memperoleh hasil real count yang dapat dipercaya oleh publik.
Penghitungan dan rekap manual dalam pemilu Indonesia selalu mengulang siklus potensi empat masalah yang disebutkan sebelumnya. Sudah saatnya pembuat kebijakan memikirkan dan menimbang pelaksanaan pemilu secara elektronik.