Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angola, Haiti, dan Kamboja adalah "Republik Pisang": negara-negara di mana aturan hukum diperdagangkan oleh individu laki-laki maupun perempuan atau kelompok yang mencari nama untuk diri mereka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sebuah nama baru di daftar negara ini: Amerika Serikat (AS). Sebagai salah satu negara dengan sistem demokrasi tertua dan paling membanggakan di dunia, kejatuhan mengagetkan negara ini merupakan warisan dari satu orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Donald Trump, dan dia adalah presiden ke-45 Amerika Serikat. Bintang acara reality TV, tukang ngibul, serta seorang bigot, Trump telah mencuitkan melalui Twitter prinsip-prinsip negaranya – seperti yang diartikulasikan dalam Deklarasi Kemerdekaan, Konstitusi dan Deklarasi Hak-Hak – menjadi segumpal omong kosong.
Tentu ia mendapatkan bantuan. Ia dibantu oleh persekongkolan yang dikenal dengan nama "Republikan". Bertahun-tahun ke depan para sejarawan akan mengingat Masa Kepresidenan Trump, mereka akan melacak muramnya masa itu, melihat trayek neofasisme, dan mencatat salah satu tanggal terpenting adalah dibebaskannya Trump oleh Senat AS dari pemakzulan akibat penyalahgunaan kekuasaan dan mengganggu kinerja Kongres pada 5 Februari 2020.
Pada 6 Februari 2020, Trump menunjukkan sebuah halaman depan koran sebagai bentuk responnya pada pembatalan rencana pemakzulannya.
Orang-orang Amerika telah menunjukkan bagaimana jabatan tertinggi di negara mereka dan yang terkuat di dunia – kepresidenan – dapat dimanipulasi untuk keuntungan pribadi, yang secara aktif didukung oleh elit politik mereka.
Di seberang Atlantik sana, badut borjuis yang sempat menjadi wartawan upahan, lalu menjadi politikus, yaitu Boris Johnson berhasil menjadikan Brexit sebagai alat untuk bukan hanya meraih kursi di Downing Street nomor 10, tetapi juga berhasil merayu kelas pekerja Inggris untuk memilih melawan kepentingan mereka sendiri.
Keanggotaan Uni Eropa (UE) bukan hanya tentang pasar bebas maupun juga gerak bebas. Ini bersifat membatasi, namun itulah poinnya: semua anggota UE menerima aturan kawasan untuk membangun rasa percaya serta perdamaian dan perkembangan di benua mereka.
Sekarang semuanya sirna.
Masyarakat menyelenggarakan Hari Brexit pada 31 Januari 2020 di Parliamentary Square
Ketika orang-orang Amerika yang ingin "Membuat Amerika Hebat Lagi" hidup di Republik Pisang – sepupu mereka di Inggris yang ingin "mengambil alih kendali" lewat Brexit hidup sebagai bocah parlente dalam tayangan ulang drama "Downtown Abbey" yang berkolaborasi dengan film perang "1917" dan kisah senjakala kerajaan India "Raj Quartet."
Apa yang terjadi? Bagaimana bisa demokrasi yang berabad-abad usianya bisa menjadi rapuh, dan bahkan menghancurkan diri sendiri?
Yang pertama: ketimpangan makin tidak terkendali. Ekonomi neoliberal yang dirintis sejak zaman Ronald Reagan dan Margaret Thatcher pada akhir 1970/80an, menjadi sumbu dari perpindahan kesejahteraan dari para pekerja dan kelas menengah ke para pemilik dan pemegang saham. Upah yang nyata malah menjadi stagnan dan kebijakan pajak menguntungkan para penerima dividen, bukan tercipta dari kerja keras mereka sendiri.
Kemudian, para pemimpin sentris seperti Bill Clinton, Tony Blair, dan Barrack Obama, justru menjaga kebijakan yang serupa. Angka tidak akan berbohong.
Ketika Thatcher mulai berkuasa pada tahun 1979, industri manufaktur Britania Raya memiliki karyawan sebanyak 6,8 juta orang – pada tahun 2016, jumlah ini menurun jauh menjadi 2,6 juta. Pada tahun 2017, tiga individu paling kaya di Amerika Serikat, yang secara keseluruhan memiliki kekayaan lebih banyak daripada total kekayaan 50% orang termiskin di Amerika Serikat – sebanyak 160 juta orang. Koefisian Gini (sebuah ukuran ketimpangan) meningkat di kedua sisi Samudera Atlantik ini.
Sebuah foto Margaret Thatcher Tahun 1987. Saat Thatcher menjadi Perdana Menteri di tahun 1979, sektor industri manufaktur Inggris mempekerjakan 6,8 juta orang-angka ini merosot menjadi 2,6 juta pada tahun 2016
Terlebih, kemunculan media sosial memungkinkan informasi yang palsu dan mengundang emosi untuk tersebar dengan mudah, tanpa terperiksa sama sekali, dapat menggoyang wacana serta atmosfer nasional dengan seenaknya.
Sementara itu, etnis dan agama minoritas, juga perempuan, berjuang untuk mencari representasi dalam kehidupan publik dan kebudayaan barat – tentu saja itu hak mereka.
Namun, kegagalan elit Anglo-Amerika untuk menyampaikan ketimpangan yang disebutkan di atas, justru membuat kelas pekerja mayoritas kulit putih merasa bahwa pemimpin mereka lebih tertarik untuk memainkan politik identitas daripada melindungi mereka.
Di saat yang bersamaan, krisis pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika Utara (di AS, krisis pengungsi kebanyakan dari Amerika Latin) meningkatkan kegelisahan orang-orang kulit putih yang takut diri mereka tergantikan.
Hal tersebut memberikan kesempatan kepada Trump dan provokator lainnya untuk bangkit. Ketimpangan ekonomi dan kegelisahan akan kebudayaan, menjadi bensin gerak batin kelompok kulit putih.
Tidak jelas apakah kelompok progresif mampu bicara blak-blakan tentang gelombang ini (Jeremy Corbyn dari Partai Buruh jelas telah gagal) dan kekacauan kaukus di Partai Demokrat Iowa bagai menggarisbawahi kesuraman ini.
Kita di Asia Tenggara, harus belajar tentang kerapuhan demokrasi di Atlantik Utara ini.
Tanpa memikirkan kesalahan mereka – demokrasi masih merupakan jalan yang terbaik untuk maju – terutama untuk negara-negara yang bersifat multiras dan multi-relijius.
Yang menjadi kunci adalah, bagaimana cara menghindari lubang tempat negara-negara barat tadi terperosok. Kita harus melihat ketimpangan yang bertumbuh dalam masyarakat kita. Pertumbuhan saja tidak akan mampu membawa stabilitas dan perdamaian.
Laporan dari Bank Dunia di tahun 2018 menemukan bahwa Index Gini Indonesia merosot dari 30,0 di tahun 1990an menjadi 38,1 di tahun 2017. Singapura (45,8 di 2016), Malaysia (45,5 di 2008), dan Filipina (44,4 di 2015) memiliki Index Gini di atas 40: pertanda bahwa ketimpangan pendapatannya lebih tinggi.
Para pemimpin kerap mengabaikan tanda-tanda peringatan seperti ini. Kita harus berinvestasi pada rakyat kita sendiri: keamanannya, kesehatannya, pendidikannya, dan keterampilannya.
Selanjutnya, media sosial juga harus bisa ditaklukkan. Ujaran kebencian dan provokasi yang seenaknya harus dikekang tanpa menimbulkan tindakan represif.
Celah berbahaya dari ras dan agama harus diurus dengan hati-hati. Harus ada titik temu antara komunitas mayoritas dan minoritas.
Dan kita harus tetap tersambung: sama-sama terinformasi tentang isu-isu yang ada, serta tetap melawan para manipulator yang memanipulasi kegelisahan kita.
Memang hal tersebut terlihat seperti suatu hal yang sulit ketika mantan penjajah dan panutan kita di barat justru gagal seperti itu. Tidak ada pilihan lain. Kita tidak boleh bergabung dengan orang-orang Amerika dan Inggris dalam tumpukan sampah sejarah.**