Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Meniti Buih Mencari Pendamping

21 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAGASAN calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Joko Widodo, membentuk koalisi kerja patut didukung. Selama sepuluh tahun terakhir, kita menyaksikan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono selalu sibuk melayani urusan "jatah-menjatah" partai koalisi. Jangankan membangun kabinet kerja, pemerintah "perkumpulan partai" itu gagal membangun kabinet efektif, apalagi kabinet yang berorientasi semata-mata pada rakyat.

Joko Widodo, yang biasa dipanggil Jokowi, tidak akan begitu mudah mewujudkan cita-citanya. Meraih 19 persen suara pemilu legislatif-enam persen di bawah batas minimal untuk mencalonkan presiden-PDI Perjuangan masih harus berkutat mencari tiket pencalonan presiden. Saat ini baru Partai Nasional Demokrat-dengan suara enam persen-yang datang menjanjikan berkoalisi. Kalau PDI Perjuangan-NasDem tetap berjalan seiring sampai pemilihan presiden, tiket pencalonan presiden boleh dibilang aman.

Seandainya koalisi dua partai berbaju nasionalis ini memenangi kursi presiden, tentu keduanya masih perlu berpikir memenangi program pemerintahan di parlemen yang mayoritas dikuasai seteru politik. Kekuatan mayoritas parlemen di luar PDI Perjuangan-NasDem itu barangkali hanya bisa "dijinakkan" apabila koalisi meraih kemenangan mutlak dalam pemilihan presiden. Seandainya program pemerintahan yang prorakyat terganjal parlemen, pendukung koalisi akan bergerak menekan parlemen. Demokrasi tidak mengharamkan unjuk rasa sepanjang tidak melanggar hukum, meskipun suasana politik akan ingar-bingar. Jangan-jangan tekad membangun koalisi kerja yang berorientasi pada rakyat memang mesti dicapai dengan suasana politik sedikit gaduh.

Masih terbuka kesempatan Jokowi menjual gagasan koalisi kerja ini kepada partai lain. Partai yang memiliki kader profesional pasti akan tertarik bergabung. Bersama Partai NasDem, PDI Perjuangan sebenarnya bisa melaju menuju pemilihan presiden. Tapi dalam politik segala hal bisa terjadi, termasuk kemungkinan hengkangnya partai baru itu menjelang hari pendaftaran.

Dengan niat membangun koalisi kerja, yang kelak diteruskan dengan kabinet kerja, kriteria calon wakil presiden PDI Perjuangan pun mesti selaras dengan cita-cita itu. Sang wakil diharapkan bisa menutupi kelemahan Jokowi, yang bukan "si sempurna serba bisa". Ia sukses memimpin Kota Solo. Ia juga memupuk popularitas ketika memimpin Jakarta, salah satunya dengan aksi blusukan. Ia pekerja, man of action, tapi tak andal mendiskusikan gagasan.

Jokowi berasal dari dunia usaha: tajam melihat peluang, cepat mengambil keputusan, dan piawai meyakinkan orang. Ia menguasai ekonomi mikro, tapi lemah dalam hal makro. Sejauh ini, ia tidak aktif membicarakan isu-isu internasional. Lantas siapa calon wakil presiden yang mampu mengimbangi kekurangan ini?

Justru inilah tantangan berat calon presiden PDI Perjuangan itu. Dari sejumlah nama kandidat wakil presiden, belum ada yang bisa sekaligus mengatasi dua persoalan yang dihadapi Jokowi: mencari calon wakil presiden yang sanggup memastikan elektabilitas dan menjadi pendamping yang tidak "bikin repot" di belakang hari.

Survei internal PDI Perjuangan memang menyebutkan bekas wakil presiden Jusuf Kalla paling mampu memperkuat elektabilitas Jokowi. Ia dipercaya masih kuat pengaruhnya untuk menarik suara Beringin, terutama di Indonesia timur. Kalla juga mengerti urusan ekonomi, seperti yang ia tunjukkan dalam pemerintahan pertama Yudhoyono. Kedekatan Kalla dengan kelompok Islam dipercaya bakal memperkuat Jokowi, yang berlatar belakang nasionalis. Di sisi lain, Kalla dikenal tak selalu ketat memisahkan kepentingan pribadi dan pemerintahan. Ia juga bukan tipe pemimpin pemikir. Dalam hal yang terakhir, Jokowi dan Kalla tak saling mengisi.

Selain Kalla, saat ini yang terlihat sudah merapat ke kandang Banteng adalah Partai Kebangkitan Bangsa dengan calon presiden Muhaimin Iskandar atau Mahfud Md. Partai Amanat Nasional dengan Hatta Rajasa sebagai calon presiden tampaknya lebih memilih berlabuh di markas Partai Gerindra. Dua calon "wapres" itu pun punya plus-minus. Berdasarkan survei, nama-nama ini masih di bawah elektabilitas Jokowi-Kalla.

PDI Perjuangan dan kandidat presidennya harus pandai-pandai meniti buih. Tekad membentuk pemerintah yang tak bagi-bagi kursi harus dipadukan dengan kelihaian memainkan strategi rangkul dan tolak. Semangat mencari wakil presiden untuk memastikan kemenangan dalam pemilu presiden tak mesti dibarengi dengan melonggarkan kriteria yang memudahkan masuknya kandidat dengan rekam jejak buruk. Bila gagasan koalisi kerja ini "laku" dijual, bukan tak mungkin muncul lebih banyak alternatif calon wakil presiden bagi PDI Perjuangan.

berita terkait di halaman 32

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus